27 Februari 2010

Tips Aman Menggunakan Facebook

Saat ini Facebook menjadi jejaring sosial paling populer dengan 400 juta pengguna di seluruh dunia. Melihat besarnya peminat Facebook, para pelaku kriminal juga mulai mencari mangsa di sini mengingat begitu mudah dan banyaknya orang yang berbagi informasi.
Lloyd Borret, Manajer Pemasaran AVG—sebuah perusahaan antivirus—menyatakan, “Setiap hari orang menempatkan diri mereka dalam risiko dengan mengklik secara tidak hati-hati terhadap undangan yang dikirim oleh teman untuk bergabung dalam grup atau menulis dalam dinding (wall) mereka. Mereka menaruh semua informasi personal termasuk tanggal lahir dan foto di dalam halaman mereka. Mereka bahkan merespon permintaan Facebook palsu.”

Pelaku kriminal mengambil keuntungan dengan menjual informasi milik pengguna Facebook, mencuri identitas, mengirim spam bahkan virus berbahaya. Untuk membantu agar pengguna tetap aman di Facebook, AVG memberikan 10 tips:

1. Pikirkan apa yang akan ditambahkan; menerima permintaan yang disediakan oleh teman baru dengan akses posting, foto, pesan dan informasi latar belakang tentang pribadi Anda. Perhatikan daftar teman dan pikirkan kembali siapa yang berhak mengakses barang pribadi anda.

2. Cek pengaturan privasi. Facebook baru-baru ini melakukan pembaruan, mengatur privasi dari awal bisa sangat berarti.

3. Apa alasan Anda menggunakan Facebook. Apakah berbagi foto? Tetap berhubungan dengan orang lain? Berbagi link dan pembaruan aktivitas? Tanyakan diri sendiri apa yang ingin diperoleh dengan profil pribadi, dengan demikian akan lebih memangkas informasi pribadi yang ada di publik.

4. Cerdas tentang password. coba untuk tidak menggunakan password yang sama untuk seluruh akun. Pikirkan tipe pertanyaan keamanan yang dipasang dan di mana akan mengirim pembaruan tersebut.

5. Waspada penggunaan komputer. Ketika masuk ke dalam suatu akun dari komputer yang berbeda-beda, periksa bahwa komputer tersebut tidak menyimpan alamat e-mail ataupun password.

6. Hati-hati dengan yang ditulis. Sekali update status dan komentar diposting, setiap orang dapat melihat, menduplikasi dan memposting kembali di mana pun dan kapan pun. Apakah Anda ingin orang lain tahu bahwa Anda akan di rumah sendirian malam ini atau pergi liburan pekan depan?

7. Perhatikan serangan 'phising'. Banyak usaha yang dilakukan untuk memperoleh log-in pengguna dan password dengan cara menipu pengguna dengan e-mail Facebook palsu. Jangan pernah mengklik link e-mail yang meminta untuk me-reset password. Kalau perlu untuk me-reset langsung saja ke halaman Facebook.

8. Ambil langkah segera. Jika teman-teman mulai menerima spam atau pembaruan status yang muncul tetapi tidak dibuat oleh pengguna sendiri maka akun tersebut kemungkinan tersusupi. Segera lakukan perubahan password. Jika tidak, bisa masuk ke akun pribadi, segera pergi ke link 'Help' di bagian bawah Facebook dan klik 'Security' untuk memberitahu Facebook.

9. Lindungi perangkat mobile Anda. Banyak ponsel yang memiliki akses langsung ke situs jejaring sosial, termasuk Facebook. Waspada terhadap siapapun yang mengakses ponsel dan pastikan akun yang dimiliki sudah log-out.

10. Monitor aktivitas mencurigakan. Awasi aktivitas mencurigakan di dinding Anda, jejak berita dan kotak masuk Facebook. Jangan pernah mengklik link mencurigakan. Lihat lebih dekat, jika link yang dimaksud tidak otentik, jangan pernah mengkliknya. (Inilah)


http://www.facebook.com/

24 Februari 2010

Hari Komunikasi Sedunia ke-44


PESAN BAPA SUCI BENEDIKTUS XVI
PADA HARI KOMUNIKASI SEDUNIA ke-44
16 MEI 2010

Imam dan Pelayanan Pastoral di Dunia Digital: Media Baru demi Pelayanan Sabda

Saudara dan Saudariku Terkasih,

1. Tema Hari Komunikasi Sedunia tahun ini - Imam dan Pelayanan Pastoral di Dunia Digital: Media Baru demi Pelayanan Sabda- disampaikan bertepatan dengan perayaan Gereja tentang Tahun Imam. Tema ini memusatkan perhatian pada komunikasi digital, suatu bidang pastoral yang peka dan penting, yang memberikan kemungkinan baru bagi para imam dalam menunaikan pelayanan kegembalaannya demi dan untuk Sabda. Berbagai komunitas Gereja sebenarnya telah menggunakan media modern untuk mengembangkan komunikasi, melibatkan diri dalam masyarakat serta mendorong dialog pada tingkat yang lebih luas. Akan tetapi penyebarannya yang tak terbendung serta dampak sosial yang besar pada jaman kini, media itu semakin menjadi penting bagi pelayanan imam yang berhasilguna.

2. Tugas utama semua imam adalah mewartakan Yesus Kristus, Sabda Allah yang inkarnasi dan mengkomunikasi rahmat penyelamatan-Nya melalui sakramen-sakramen. Dihimpun dan dipanggil oleh Sabda, Gereja menjadi tanda dan sarana persekutuan Allah dengan semua orang. Setiap imam dipanggil untuk membangun persekutuan dalam Kristus dan bersama Kristus. Disinilah terletak martabat yang luhur dan indah perutusan seorang imam yang secara istimewa menjawabi tantangan yang ditampilkan oleh Rasul Paulus: 'Barangsiapa yang percaya kepada Dia, tidak akan dipermalukan.'...Sebab barangsiapa yang berseru kepada nama Tuhan, akan diselamatkan. Tetapi bagaimana mereka dapat berseru kepada-Nya jika mereka tidak percaya kepada Dia? Dan bagaimana mereka dapat percaya kepada Dia jika mereka tidak mendengarkan tentang Dia? Bagaimana mereka mendengarkan tentang Dia jika tidak ada yang memberitakan-Nya? Dan bagaimana mereka dapat memberitakan-Nya jika mereka tidak diutus? (Rom 10:11, 13-15).

3. Menggunakan teknologi komunikasi baru merupakan hal yang perlu dalam menjawab secara tepat tantangan-tantangan yang dirasakan kaum muda di tengah pergeseran budaya masa kini. Dunia komunikasi digital dengan daya ekspresi yang nyaris tak terbatas mendorong kita untuk mengakui apa yang disampaikan oleh St.Paulus:'celakalah aku jika aku tidak mewartakan Injil (1Kor 9:16). Kemudahan mendapatkan teknologi baru yang kian berkembang menuntut tanggungjawab yang lebih besar dari orang-orang terpanggil untuk mewartakan Injil serta termotivasi, terarah dan efisien menunaikan usaha-usaha mereka. Para imam berada di ambang ‘era baru': karena semakin intensifnya relasi lintas batas yang dibentuk oleh pengaruh media komunikasi, demikian pula para imam dipanggil untuk memberikan jawaban pastoral dengan menempatkan media secara berdaya guna demi pelayanan Sabda.

4. Penyebaran komunikasi multimedia dengan ragam ‘menu pilihan' tidak dimaksudkan untuk sekadar menghadirkan para imam di internet atau sekadar menjadikan internet ruang untuk diisi. Para imam diharapkan menjadi saksi setia terhadap Injil di dalam dunia komunikasi digital dengan menunaikan perannya sebagai pemimpin-pemimpin komunitas yang terus menerus mengungkapkan dirinya dengan ‘suara yang berbeda' yang dihadirkan oleh pasaraya digital. Dengan demikian, para imam ditantang untuk mewartakan Injil dengan menggunakan generasi teknologi audiovisual yang paling mutakhir (gambar, video, fitur animasi,blog dan website) yang seiiring dengan media tradisional dapat membuka wawasan baru dan luas demi dialog, evangelisasi dan katekese.

5. Dengan menggunakan teknologi komunikasi baru, para imam dapat memperkenalkan kehidupan menggereja kepada umat dan membantu orang-orang jaman sekarang menemukan wajah Kristus. Hal ini akan dicapai dengan baik apabila mereka belajar -sejak dari masa pembinaan mereka- bagaimana memanfaatkan teknologi komunikasi secara kompeten dan selaras dengan pemahaman teologis yang mendalam dan spiritualitas imam yang kokoh, berakar pada dialog terus menerus dengan Tuhan. Dalam dunia komunikasi digital, para imam -lebih dari sekadar sebagai ahli media- seharusnya mengungkapkan kedekatannya dengan Kristus untuk memberikan ‘jiwa' baik bagi pelayanan pastoralnya maupun bagi aliran komunikasi internet yang tak terbendung.

6. Kasih Allah kepada semua orang dalam Kristus mesti diungkapkan dalam dunia digital bukan sekadar sebagai benda kadaluwarsa atau teori orang terpelajar tetapi sebagai sesuatu yang sungguh nyata, hadir dan melibatkan diri. Oleh karena itu, kehadiran pastoral kita di dalam dunia seperti itu harus bermanfaat untuk memperkenalkan orang-orang jaman sekarang teristimewa mereka yang mengalami ketidakpastian dan kebingungan, ‘bahwa Allah itu dekat, bahwa di dalam Kristus kita semua saling memiliki' (Benediktus XVI, Untuk Curia Romana,21 Desember 2009)

7. Siapakah yang lebih baik dari seorang imam, yang sebagai abdi Allah dan melalui kemampuannya di bidang teknologi digital dapat mengembangkan dan menunaikan pelayanan pastoralnya , menghadirkan Allah secara nyata di dunia jaman sekarang dan menampakkan kebijaksanaan rohani masa lampau sebagai harta yang mengilhami usaha kita untuk hidup layak dimasa kini sambil membangun masa depan yang lebih baik? Kaum laki-laki dan perempuan religius yang bekerja di bidang media komunikasi memiliki tangggjawab istimewa untuk membuka pintu bagi berbagai pendekatan baru, mempertahankan mutu interaksi manusia, menunjukkan perhatiannya bagi individu serta kebutuhan rohaninya yang sejati. Dengan demikian, mereka dapat menolong kaum laki-laki dan perempuan di jaman digital ini merasakan kehadiran Tuhan, menumbuhkan kerinduan dan harapan serta mendekatkan diri pada Sabda Allah yang menganugerakan keselamatan dan membangun manusia secara utuh. Dengan demikian, Sabda Allah dapat berjalan melintasi berbagai persimpangan yang tercipta oleh simpangsiurnya aneka ragam ‘jalan tol' yang membentuk ‘ruang maya' dan menunjukkan bahwa Allah memiliki tempat-Nya yang tepat pada setiap jaman, termasuk di jaman kita ini. Berkat media komunikasi baru, Tuhan dapat menapaki jalan-jalan perkotaan kita sambil berhenti di depan ambang rumah dan hati kita dan mengatakan lagi: Lihatlah, Aku berdiri de depan pintu dan mengetuk, Jika ada yang mendengar suara-Ku dan membukakan pintu, Aku akan masuk ke dalam rumahnya dan makan bersama dia dan dia bersama Aku" (Why.3:20)

8. Dalam Pesan tahun lalu, saya telah mendorong para pemimpin di dunia komunikasi untuk memajukan budaya menghormati demi nilai dan martabat manusia. Ini merupakan salah satu cara dimana Gereja dipanggil untuk menunaikan ‘palayanan terhadap budaya-budaya' di ‘benua digital' jaman sekarang. Dengan Injil di tangan dan di hati, kita mesti menegaskan lagi tentang perlunya mempersiapkan cara mengantar orang kepada Sabda Allah sambil memberikan perhatian kepada mereka untuk terus mencari bahkan kita harus mendorong pencarian mereka sebagai langkah awal evangelisasi. Kehadiran pastoral di dunia komunikasi digital justru mengantar kita untuk berkontak dengan penganut agama lain, dengan orang-orang tak beriman dan orang-orang dari berbagai budaya, menuntut kepekaan terhadap orang yang tidak percaya, putus asa dan yang memiliki kerinduan mendalam dan tak terungkapkan akan kebenaran abadi dan mutlak, Demikianlah seperti yang diramalkan oleh Nabi Yesaya tentang sebuah rumah doa bagi segala bangsa (bdk Yes 56:7), dapatkah kita tidak melihat internet sebagai ruang yang diberikan kepada kita - semacam ‘pelataran bagi orang-orang bukan Yahudi' di Bait Allah Yerusalem- yakni mereka yang belum mengenal Allah?

9. Perkembangan dunia digital dan teknologi baru merupakan sumber daya yang besar bagi manusia secara keseluruhan dan setiap individu sebagai daya dorong untuk perjumpaan dan dialog. Perkembangan ini juga memberikan peluang besar bagi orang beriman. Tidak ada pintu yang dapat dan harus ditutup bagi setiap orang yang atas nama Kristus yang bangkit, memiliki komitmen untuk semakin mendekatkan diri kepada orang lain. Secara khusus bagi para imam, media baru ini memberikan kemungkinan pastoral yang baru dan kaya, mendorong mereka untuk melibatkan diri ke dalam universalitas perutusan Gereja, membangun persahabatan yang luas dan konkrit serta memberikan kesaksian di dunia jaman kini tentang hidup baru yang berasal dari mendengar Injil Yesus, Putra Abadi yang datang demi keselamatan kita. Seiring dengan itu, para imam mestinya mengingat bahwa keberhasilan utama dari pelayanan mereka datang dari Kristus sendiri, yang ditemukan dan didengar dalam doa, diwartakan dalam kotbah, dihidupi lewat kesaksian; dan diketahui, dicinta dan dirayakan dalam sakramen-sakramen, khususnya sakramen ekaristi dan rekonsiliasi.

Untuk para imamku yang terkasih, sekali lagi saya mendorong anda untuk memanfaatkan kesempatan-kesempatan unik yang disumbangkan oleh komunikasi modern. Semoga Tuhan menjadikan kalian bentara-bentara Injil yang bersemangat di ‘ruang publik' baru media dewasa ini.

Dengan penuh keyakinan, saya memohonkan perlindungan Bunda Maria dan Santo Yohanes Maria Vianey (Pastor dari Ars, Pelindung para imam) dan dengan penuh kasih saya memberikan kepada anda sekalian berkat apostolikku.

Vatikan, 24 Januari 2010, Pesta Santo Fransiskus de Sales.

Paus Benediktus XVI

http://www.mirifica.net/

15 Februari 2010

Surat Gembala Prapaskah 2010

Saudara-saudari Umat katolik Keuskupan Agung Jakarta yang terkasih,

1. Hari Rabu mendatang kita memasuki masa puasa, masa pentobatan untuk menyongsong Hari Raya Paskah. Selama masa Prapaskah kita diajak untuk mendalami tema pentobatan yang sudah kita pilih, yaitu “Mari bersama-sama melawan kemiskinan”. Tema ini dipilih karena kemiskinan adalah tantangan iman yang amat mendesak untuk ditanggapi dan dilawan. Angka-angka mengenai kemiskinan berikut ini dapat memberikan gambaran kepada kita, betapa mendesaknya tantangan iman ini: di tanah-air, di antara kita masih banyak saudara-saudari kita yang tergolong miskin. Menurut angka resmi ada 32,57 juta orang miskin di Indonesia. Di wilayah Keuskupan Agung Jakarta yang meliputi Daerah Khusus Ibukota, wilayah Bekasi dan Tangerang juga banyak saudara-saudari kita yang miskin. Di DKI saja ada 323.170 orang. Tentu lebih besar jumlah prosentasenya di daerah Tangerang dan Bekasi. Maka baik kalau kita memilih tema pentobatan kita :”Mari bersama-sama melawan kemiskinan”. Kami syukuri bahwa Pemerintah pun dalam menentukan program kerjanya juga memusatkan perhatian pada usaha mengurangi jumlah orang miskin.

2. Ketika kita ingin merenungkan dan mewujudkan pentobatan kita dengan melawan kemiskinan, kita dibuat bertanya-tanya oleh sabda Yesus yang baru saja kita dengarkan dalam Injil :”Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah” (Luk 6:20). Apakah dengan sabda itu Yesus mau mengatakan bahwa kemiskinan adalah sesuatu yang baik, yang harus dipertahankan? Apakah dengan demikian Ia menghendaki agar orang miskin tetap miskin agar dapat mengalami kebahagiaan dan dapat ikut memiliki Kerajaan Allah? Pertanyaan itu dengan tegas bisa dijawab: ”Tidak. Yesus tidak menghendaki agar kemiskinan dipertahankan”. Lalu apa maksud sabda Yesus itu? Dengan sabda itu Yesus ingin menyatakan, bahwa Kerajaan Allah yang Ia wartakan, akan terwujud dan menjadi kenyataan. Terwujudnya Kerajaan Allah itu akan membebaskan orang-orang miskin dari kemiskinan mereka. Mengapa? Karena Kerajaan Allah antara lain adalah tata kehidupan bersama di mana “kehendak Allah terjadi di atas bumi seperti di dalam sorga”. Tata kehidupan bersama seperti itu akan terwujud berkat pentobatan sebagai buah dari pewartaan Yesus, yaitu ketika orang rela berbagi, tidak serakah dan tidak menyalahgunakan kekuasaan untuk merampas dan memeras (bdk Luk 2:11-14). Dengan kata lain, sabda itu menyatakan dan menjamin kasih Allah kepada orang-orang miskin yang boleh berharap akan dientaskan dari kemiskinan mereka. Kalau ini terjadi, bukan hanya orang miskin yang berbahagia, tetapi semua orang akan berbahagia dalam tata kehidupan bersama yang diresapi oleh kasih Allah, sehingga “tidak ada seorang pun yang berkekurangan di antara mereka” (bdk. Kis 4:34)

Saudara-saudariku yang terkasih,

3. Begitu besar kasih Yesus kepada orang miskin dan betapa Ia ingin memperhatikan mereka lewat kita murid-murid-Nya, sampai Yesus menyamakan diri-Nya sebagai orang miskin itu dan mengharapkan murid-murid Yesus mengasihi dan menjumpai Yesus dengan mengasihi dan menolong yang papa itu. Yesus berkata :”Segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku” (Mat 25:40). Kasih akan Allah dan kasih akan sesama menjadi satu: dalam diri mereka yang hina kita menemukan Yesus sendiri, dan dalam Yesus kita menemukan Allah (bdk. DC 15). Inilah pentobatan kita, yaitu mau mencintai Yesus dengan mencari, menemukan orang papa dan menolongnya.

4. Kami syukuri bahwa Anda sudah menunjukkan kepedulian dan sudah banyak menolong orang yang membutuhkan pertolongan, seperti saat ada banjir, gempa bumi dll. Bahkan banyak dari Anda selalu mengunjungi Panti Jompo atau Panti Asuhan dengan menghibur mereka dan memberikan bingkisan Natal, Lebaran atau Paskah. Juga banyak dari Anda sangat peduli terhadap mereka yang papa di daerah miskin di luar Keuskupan Agung Jakarta. Kendati sudah banyak yang Anda lakukan, kami masih mengajak Anda untuk bersama-sama melawan kemiskinan dengan (1) meningkatkan yang dapat menjadi sumber kekayaan, yaitu diri sendiri dan lingkungan hidup Anda; dan (2) melaksanakan itu dalam rangka memberdayakan lingkungan dan kelompok kategorial menjadi umat basis yang makin berkualitas dalam iman, persaudaraan dan pelayanan satu sama lain.

5. Kami syukuri apa yang sudah kami dengar, bahwa ada lingkungan teritorial paroki yang telah menemukan saudara-saudari di lingkungan, termasuk di dalamnya warga se-RT, yang tidak memiliki sumber kehidupan yang jelas. Bagus bahwa ada lingkungan yang telah berhasil membantu mereka itu dengan gerakan bersama dari lingkungannya. Akan menjadi lebih sempurna, kalau saudara saudari kita yang miskin itu dapat didampingi sampai akhirnya memiliki suatu usaha untuk meningkatkan kesejahteraan hidup mereka. Ada yang membuat sampah menjadi pupuk yang dapat dijual; ada yang mulai menggarap dan menanami tanah yang kosong, bekerja sama dengan pemilik tanah itu; atau membuat pekarangan yang sempit dipenuhi dengan pot-pot tanaman atau pralon yang diberi tanah dan pupuk lalu ditanami sayur-mayur kebutuhan sehari-hari seperti cabe dst. Ada yang menanam tanaman sehat yang berguna bagi kebutuhan keluarga. Ada yang mengembangkan usaha bersama menjual bahan mentah atau makanan yang dimasak. Kalau hal-hal yang kecil semacam ini dapat terjadi di mana-mana, berarti ada pertambahan kekuatan hidup yang mandiri, yang bersama-sama merupakan kekuatan melawan kemiskinan.

6. Anda yang tidak menjumpai umat atau warga yang miskin, karena Anda hidup di tengah lingkungan hidup yang berkecukupan, dapat membantu lingkungan lain se-paroki atau membantu paroki lain se-dekenat yang Anda rasakan banyak tanggungan mereka, karena mereka ada di daerah yang memang berpenduduk kelas menengah ke bawah. Yang penting bahwa pentobatan Anda diberi fokus mencari, menemukan dan membantu mereka yang masih kurang sejahtera hidupnya, dan menemukan Kristus sendiri yang Anda cintai dalam diri mereka yang Anda bantu itu. Demikianlah arah dan semangat pentobatan selama masa APP. Bahan APP secara rinci telah disiapkan. Semoga bahan-bahan itu membantu renungan dan refleksi Anda.

7. Mengakhiri surat kami, kami kutip kata-kata Nabi Yeremia yang sangat indah, yang tadi kita dengarkan :”Diberkatilah orang yang mengandalkan Tuhan, yang menaruh harapannya pada Tuhan. Ia akan seperti pohon yang ditanam di tepi air, yang merambatkan akar-akarnya ke tepi batang air, dan yang tidak mengalami datangnya panas terik, yang daunnya tetap hijau, yang tidak kuatir dalam tahun kering dan yang tidak berhenti menghasilkan buah” (Yer 17:7-8). Semoga kita, keluarga dan komunitas kita selalu diberkati Tuhan, dan tidak berhenti mengasilkan buah-buah pertobatan. Selamat menghayati masa Prapaskah. Amin.


Jakarta, Februari 2010

Mgr. Ignatius Suharyo        Julius Kardinal Darmaatmadja, SJ
Uskup Koajutor KAJ              Uskup Agung Jakarta

13 Februari 2010

St.Valentine dan Hari Valentine

Dalam martirologi kuno, disebutkan ada tiga St Valentine yang berbeda, yang pestanya sama-sama dirayakan pada tanggal 14 Februari. Sayangnya, kita tidak punya cukup catatan sejarah mengenainya.

St Valentine yang pertama adalah seorang imam dan dokter di Roma. Ia, bersama dengan St Marius dan keluarganya, menghibur para martir pada masa penganiayaan oleh Kaisar Claudius II. Pada akhirnya, St Valentine juga ditangkap, dijatuhi hukuman mati karena imannya, didera dengan pentung dan akhirnya dipenggal kepalanya pada tanggal 14 Februari 270. Ia dimakamkan di Flaminian Way. Di kemudian hari, Paus Julius I (thn 333-356) mendirikan sebuah basilika di lokasi tersebut yang melindungi makam St Valentine. Penggalian-penggalian arkeologis yang dilakukan pada tahun 1500-an dan 1800-an menemukan bukti akan adanya makam St Valentine. Tetapi, pada abad ke-13, relikwinya dipindahkan ke Gereja Santo Praxedes dekat Basilika St Maria Mayor, di mana relikwi berada hingga sekarang. Juga, sebuah gereja kecil dibangun dekat Gerbang Flaminian di Roma yang dikenal sebagai Porta del Popolo, tetapi yang pada abad ke-12 disebut sebagai "Gerbang St Valentine," seperti dicatat oleh ahli sejarah Inggris kuno William Somerset (juga dikenal sebagai William dari Malmesbury, wafat thn 1143), yang menempatkan St Beda sebagai otoritas Gereja Inggris awali.

St Valentine yang kedua adalah Uskup Interamna (sekarang Terni, terletak sekitar 60 mil dari Roma). Atas perintah Prefek Placidus, ia juga ditangkap, didera, dan dipenggal kepalanya, dalam masa penganiayaan Kaisar Claudius II.

St Valentine yang ketiga mengalami kemartiran di Afrika bersama beberapa orang rekannya. Tetapi, tidak banyak yang diketahui mengenai santo ini. Pada intinya, ketiga orang kudus ini, yang semuanya bernama Valentine, menunjukkan kasih yang gagah berani bagi Tuhan dan Gereja-Nya.

Kebiasaan populer mengungkapkan kasih sayang pada Hari St Valentine nyaris kebetulan bertepatan dengan pesta sang santo. Pada Abad Pertengahan, terdapat kepercayaan umum di kalangan masyarakat Inggris dan Perancis bahwa burung-burung mulai berpasangan pada tanggal 14 Februari, "pertengahan bulan kedua dalam tahun." Chaucer menulis dalam karyanya, "Parliament of Foules" (dalam bahasa Inggris kuno): "Sebab ini adalah hari Seynt Valentyne, di mana setiap burung datang ke sana untuk memilih pasangannya." Oleh karena alasan ini, hari tersebut diperuntukkan bagi para "kekasih" dan mendorong orang untuk mengirimkan surat, hadiah, atau tanda ungkapan kasih lainnya.

Suatu contoh literatur lain mengenai peringatan Hari St Valentine didapati dalam Dame Elizabeth Brews' Paston Letters (1477), di mana ia menulis kepada John Paston, laki-laki yang hendak meminang puterinya, Margery: "Dan, saudaraku, hari Senin adalah hari St Valentine dan setiap burung memilih pasangan bagi dirinya, dan jika engkau mau datang pada hari Kamis malam, dan bersedia tinggal hingga waktu itu, aku percaya kepada Tuhan bahwa engkau akan berbicara kepada suamiku dan aku akan berdoa agar kami dapat memutuskan masalah ini." Sebaliknya, Margery menulis kepada John: "Kepada Velentineku terkasih John Paston, Squyer, kiranya surat ini sampai kepadamu. Kepada dia yang terhormat dan Valentineku terkasih, aku menyerahkan diriku, dengan sepenuh hati berharap akan kesejahteraanmu, yang aku mohonkan kepada Tuhan yang Mahakuasa agar dilimpahkan kepadamu sepanjang Ia berkenan dan sepanjang hatimu mengharapkannya." Sementara berbicara mengenai perasaan cinta kasih Hari Valentine, tidak disebutkan sama sekali mengenai Santo Valentine.

Walau tampaknya saling bertukar ucapan selamat valentine lebih merupakan kebiasaan sekular daripada kenangan akan St Valentine, dan meski perayaan lebih jauh telah dikafirkan dengan dewa dewi asmara dan semacamnya, namun ada suatu pesan Kristiani yang sepatutnya kita ingat. Kasih Tuhan kita, yang dilukiskan amat indah dalam gambaran akan Hati-Nya Yang Mahakudus, adalah kasih yang penuh pengurbanan, yang tidak mementingkan diri, dan yang tanpa syarat. Setiap umat Kristiani dipanggil untuk mewujudnyatakan kasih yang demikian dalam hidupnya, bagi Tuhan dan bagi sesama. Jelaslah, St Valentine - tanpa peduli yang mana - menunjukkan kasih yang demikian, menjadi saksi iman dalam pengabdiannya sebagai seorang imam dan dalam mempersembahkan nyawanya sendiri dalam kemartiran.

Pada Hari Valentine ini, seturut teladan santo agung ini, setiap orang hendaknya mempersembahkan kembali kasihnya kepada Tuhan, sebab hanya dengan berbuat demikian ia dapat secara pantas mengasihi mereka yang dipercayakan ke dalam pemeliharaannya dan juga sesamanya. Setiap orang hendaknya mengulang kembali janji kasihnya kepada mereka yang terkasih, berdoa demi kepentingan mereka, berikrar setia kepada mereka, dan berterima kasih atas kasih yang mereka berikan. Janganlah lupa akan sabda Yesus, "Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya" (Yoh 15:12-13). St Valentine telah menunaikan perintah ini, dan kiranya kita melakukan hal yang sama. (yesaya.indocell.net/The Arlington Catholic Gerald)


http://www.mirifica.net/

05 Februari 2010

VATICAN - Pope speaks of justice in Lenten message

St. Peter's Basilica in the Vatican

VATICAN CITY (UCAN) – Pope Benedict XVI’s message to Catholics for Lent rejects the notion that injustice is caused by external factors and says its origins are to be found within people themselves.

Injustice “does not have exclusively external roots; its origin lies in the human heart, where the seeds are found of a mysterious cooperation with evil,” the Pope says.

He says modern ideologies see the origin of injustice in external causes, and believe that by removing them one could attain the reign of justice.

The Pope rejects this view as “ingenuous and shortsighted” and says that Jesus taught that people should first look into themselves.

“By nature [man] is open to sharing freely” but discovers in his being “a strange force of gravity that makes him turn in and affirm himself above and against others,” he says.

This is “egoism” which consists of “the illusion of self-sufficiency, the profound state of closure” which is at the root of injustice.

Pope Benedict says man can exit from this state by being converted to Christ and discovering that he needs God and other people.

This experience moves Christians to contribute to creating just societies, enlivened by love, he says.

Lent, the annual 40-day period during which Christians renew their commitment to Christ through prayer, fasting and acts of charity, begins for Roman Catholics on Feb. 17, Ash Wednesday, and for most Eastern-Rite Catholics two days earlier.

The Pope’s message follows:

MESSAGE OF HIS HOLINESS

BENEDICT XVI

FOR LENT 2010

“The justice of God has been manifested

through faith in Jesus Christ” (cf. Rm 3, 21-22)

Dear Brothers and Sisters!

Each year, on the occasion of Lent, the Church invites us to a sincere review of our life in light of the teachings of the Gospel. This year, I would like to offer you some reflections on the great theme of justice, beginning from the Pauline affirmation: “The justice of God has been manifested through faith in Jesus Christ” (cf. Rm 3, 21-22). : “dare cuique suum”

Justice: “dare cuique suum”

First of all, I want to consider the meaning of the term “justice,” which in common usage implies “to render to every man his due,” according to the famous expression of Ulpian, a Roman jurist of the third century. In reality, however, this classical definition does not specify what “due” is to be rendered to each person. What man needs most cannot be guaranteed to him by law. In order to live life to the full, something more intimate is necessary that can be granted only as a gift: we could say that man lives by that love which only God can communicate since He created the human person in His image and likeness. Material goods are certainly useful and required – indeed Jesus Himself was concerned to heal the sick, feed the crowds that followed Him and surely condemns the indifference that even today forces hundreds of millions into death through lack of food, water and medicine – yet “distributive” justice does not render to the human being the totality of his “due.” Just as man needs bread, so does man have even more need of God. Saint Augustine notes: if “justice is that virtue which gives every one his due … where, then, is the justice of man, when he deserts the true God?” (De civitate Dei, XIX, 21).

What is the Cause of Injustice?

The Evangelist Mark reports the following words of Jesus, which are inserted within the debate at that time regarding what is pure and impure: “There is nothing outside a man which by going into him can defile him; but the things which come out of a man are what defile him … What comes out of a man is what defiles a man. For from within, out of the heart of man, come evil thoughts” (Mk 7, 14-15, 20-21). Beyond the immediate question concerning food, we can detect in the reaction of the Pharisees a permanent temptation within man: to situate the origin of evil in an exterior cause. Many modern ideologies deep down have this presupposition: since injustice comes “from outside,” in order for justice to reign, it is sufficient to remove the exterior causes that prevent it being achieved. This way of thinking – Jesus warns – is ingenuous and shortsighted. Injustice, the fruit of evil, does not have exclusively external roots; its origin lies in the human heart, where the seeds are found of a mysterious cooperation with evil. With bitterness the Psalmist recognises this: “Behold, I was brought forth in iniquity, and in sin did my mother conceive me” (Ps 51,7). Indeed, man is weakened by an intense influence, which wounds his capacity to enter into communion with the other. By nature, he is open to sharing freely, but he finds in his being a strange force of gravity that makes him turn in and affirm himself above and against others: this is egoism, the result of original sin. Adam and Eve, seduced by Satan’s lie, snatching the mysterious fruit against the divine command, replaced the logic of trusting in Love with that of suspicion and competition; the logic of receiving and trustfully expecting from the Other with anxiously seizing and doing on one’s own (cf. Gn 3, 1-6), experiencing, as a consequence, a sense of disquiet and uncertainty. How can man free himself from this selfish influence and open himself to love?

Justice and Sedaqah

At the heart of the wisdom of Israel, we find a profound link between faith in God who “lifts the needy from the ash heap” (Ps 113,7) and justice towards one’s neighbor. The Hebrew word itself that indicates the virtue of justice, sedaqah, expresses this well. Sedaqah, in fact, signifies on the one hand full acceptance of the will of the God of Israel; on the other hand, equity in relation to one’s neighbour (cf. Ex 20, 12-17), especially the poor, the stranger, the orphan and the widow (cf. Dt 10, 18-19). But the two meanings are linked because giving to the poor for the Israelite is none other than restoring what is owed to God, who had pity on the misery of His people. It was not by chance that the gift to Moses of the tablets of the Law on Mount Sinai took place after the crossing of the Red Sea. Listening to the Law presupposes faith in God who first “heard the cry” of His people and “came down to deliver them out of hand of the Egyptians” (cf. Ex 3,8). God is attentive to the cry of the poor and in return asks to be listened to: He asks for justice towards the poor (cf. Sir 4,4-5, 8-9), the stranger (cf. Ex 22,20), the slave (cf. Dt 15, 12-18). In order to enter into justice, it is thus necessary to leave that illusion of self-sufficiency, the profound state of closure, which is the very origin of injustice. In other words, what is needed is an even deeper “exodus” than that accomplished by God with Moses, a liberation of the heart, which the Law on its own is powerless to realize. Does man have any hope of justice then?

Christ, the Justice of God

The Christian Good News responds positively to man’s thirst for justice, as Saint Paul affirms in the Letter to the Romans: “But now the justice of God has been manifested apart from law … the justice of God through faith in Jesus Christ for all who believe. For there is no distinction; since all have sinned and fall short of the glory of God, they are justified by His grace as a gift, through the redemption which is in Christ Jesus, whom God put forward as an expiation by his blood, to be received by faith” (3, 21-25). What then is the justice of Christ? Above all, it is the justice that comes from grace, where it is not man who makes amends, heals himself and others. The fact that “expiation” flows from the “blood” of Christ signifies that it is not man’s sacrifices that free him from the weight of his faults, but the loving act of God who opens Himself in the extreme, even to the point of bearing in Himself the “curse” due to man so as to give in return the “blessing” due to God (cf. Gal 3, 13-14). But this raises an immediate objection: what kind of justice is this where the just man dies for the guilty and the guilty receives in return the blessing due to the just one? Would this not mean that each one receives the contrary of his “due”? In reality, here we discover divine justice, which is so profoundly different from its human counterpart. God has paid for us the price of the exchange in His Son, a price that is truly exorbitant. Before the justice of the Cross, man may rebel for this reveals how man is not a self-sufficient being, but in need of Another in order to realize himself fully. Conversion to Christ, believing in the Gospel, ultimately means this: to exit the illusion of self-sufficiency in order to discover and accept one’s own need – the need of others and God, the need of His forgiveness and His friendship. So we understand how faith is altogether different from a natural, good-feeling, obvious fact: humility is required to accept that I need Another to free me from “what is mine,” to give me gratuitously “what is His.” This happens especially in the sacraments of Reconciliation and the Eucharist. Thanks to Christ’s action, we may enter into the “greatest” justice, which is that of love (cf. Rm 13, 8-10), the justice that recognises itself in every case more a debtor than a creditor, because it has received more than could ever have been expected. Strengthened by this very experience, the Christian is moved to contribute to creating just societies, where all receive what is necessary to live according to the dignity proper to the human person and where justice is enlivened by love.

Dear brothers and sisters, Lent culminates in the Paschal Triduum, in which this year, too, we shall celebrate divine justice – the fullness of charity, gift, salvation. May this penitential season be for every Christian a time of authentic conversion and intense knowledge of the mystery of Christ, who came to fulfill every justice. With these sentiments, I cordially impart to all of you my Apostolic Blessing.

From the Vatican, 30 October 2009

BENEDICTUS PP. XVI

04 Februari 2010

SURAT GEMBALA PRAPASKAH KEPAUSAN 2010

"Kebenaran Allah telah dinyatakan karena iman dalam Yesus Kristus"
(lih. Rom. 3:21-22)

Saudara-saudari yang terkasih,

Setiap tahun, pada kesempatan Masa Prapaskah, Gereja mengundang kita untuk dengan tulus meninjau kembali hidup kita dalam cahaya Injil. Tahun ini, saya ingin menawarkan kepada Anda sekalian beberapa permenungan atas tema besar "keadilan", dengan bertitik-tolak pada penegasan Paulus ini: "Kebenaran Allah telah dinyatakan karena iman dalam Yesus Kristus" (lih. Rom. 3:21-22).

Keadilan: "memberikan kepada yang berhak menerimanya"

Pertama-tama saya ingin melihat arti istilah "keadilan", yang pada umumnya mengandung pengertian "memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya", menurut rumusan kesohor dari Ulpianus, seorang ahli hukum dari kota Roma pada abad ketiga. Namun, pada kenyataannya, definisi klasik ini tidak menspesifikasi, "hak" manakah yang harus diberikan kepada setiap orang itu. Apa yang paling dibutuhkan orang, tidak dapat dijamin oleh hukum. Agar supaya orang dapat hidup dengan sepenuhnya, dibutuhkanlah sesuatu yang lebih mendalam, yang dapat diberikan kepadanya hanya sebagai suatu pemberian: kita dapat mengatakan, bahwa seseorang hidup dari cinta-kasih itu, yang hanya bisa disampaikan oleh Allah, sebab Dialah yang menciptakan pribadi manusia sesuai dengan citra dan gambaran-Nya. Barang-barang duniawi memang berguna dan sungguh dibutuhkan, „Ÿsesuangguhnya Yesus sendiri memang menaruh keprihatinan untuk menyembuhkan mereka yang sakit, memberi makan kepada orang banyak yang mengikuti-Nya, dan pastilah Dia mengutuk sikap tidak-mau-tahu, yang bahkan pada jaman sekarangpun telah menyebabkan rutusan juta orang mengalami kematian karena kekurangan makanan, air dan obat-obatan,„Ÿ namun "keadilan distributif" itu tetap saja tidak bisa memberikan kepada manusia seluruh kepenuhan "haknya". Sebagaimana manusia membutuhkan makanan, demikian pula dia, malah lebih lagi, membutuhkan Allah. Santo Agustinus mencatat: seandainya "keadailan adalah keutamaan untuk memberikan kepada setiap orang apa yang menjadi haknya ... lalu di manakah keadilan seseorang, apabila dia meninggalkan Allah yang benar?" (De Civitate Dei, XIX, 21).

Apakah Penyebab Ketidakadilan

Penginjil Markus melaporkan kata-kata Yesus berikut ini, yang disisipkannya di dalam perdebatan pada waktu itu tentang apa yang mencemarkan dan tidak mencemarkan orang: "Kamu semua, dengarlah kepada-Ku dan camkanlah. Apa pun dari luar, yang masuk ke dalam seseorang, tidak dapat menajiskannya, tetapi apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya." Kata-Nya lagi: "Apa yang keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati orang, timbul segala pikiran jahat" (Mrk. 7:14-15.20-21). Lebih jauh dari masalah yang secara langsung menyangkut makanan, kita dapat menemukan dalam reaksi orang-orang Farisi di sana, hadirnya godaan yang selalu ada pada diri manusia: yakni untuk menempatkan asal-usul kejahatan di dalam sesuatu yang ada di luar manusia. Juga kini pun, jauh di dalam lubuk pemikiran-pemikiran modern adalah pengandaian ini: karena ketidakadilan datang "dari luar", maka agar supaya keadilan berjaya, cukuplah kita menyingkirkan penyebab luaran yang menghalanginya itu. Yesus memperingatkan: cara berpikir yang seperti itu terlalu dangkal dan sempit. Ketidakadilan, sebagai buah dari yang jahat, tidak bersumber hanya pada yang luaran saja; asal-muasalnya terletak di dalam hati manusia itu sendiri, yang benih-benihnya berada secara tersembunyi di dalam kerja-sama manusia dengan yang jahat. Inilah juga yang dengan pahit diakui oleh si Pemazmur: "Sesungguhnya, dalam kesalahan aku diperanakkan, dalam dosa aku dikandung ibuku" (Mzm. 51:7). Memang benar, manusia sangat diperlemah oleh suatu pengaruh yang sangat besar, yang bahkan melukai kemampuannya untuk masuk ke dalam persekutuan dengan orang lain.

Sebenarnya pada dasarnya manusia memiliki keterbukaan untuk berbagi secara bebas dengan orang lain, namun didapatinya juga di dalam dirinya suatu kekuatan asing berupa suatu daya-tarik yang membuatnya berbalik kepada dirinya sendiri dan mengafirmasikannya di atas dan melawan orang lain: inilah egoism, buah dan akibat dari dosa asal. Adam dan Hawa, tergoda oleh dusta tipuan si Iblis, dengan memetik buah misterius itu yang bertentangan dengan perintah Allah, telah menggantikan cara berpikir logis untuk menaruh kepercayaan kepada Cintakasih dan menukarnya dengan pola pikir logis kecurigaan dan persaingan; menggantikan sikap menerima dan mengharapkan dengan penuh kepercayaan kepada Yang Lain itu, dan menukarnya dengan mengambil secara bernafsu dan bertindak dari dirinya sendiri (bdk Kej. 3:6), dan dengan demikian lalu mengalami perasaan kecemasan dan kegelisahan.

Bagaimana orang bisa melepaskan dirinya sendiri dari pengaruh egoism ini lalu membuka dirinya terhadap Kasih?

Keadailan dan Sedaqah

Di jantung kebijaksanaan Israel, kita mendapatkan kaitan yang mendalam antara iman kepercayaan kepada Allah yang "menegakkan orang yang hina dari dalam debu" (Mzm. 113:7) dan keadilan kepada sesamanya manusia. Kata bahasa Ibrani itu sendiri, sedaqah, yang menunjuk kepada keutamaan keadilan, juga mengungkapkan hal itu dengan sangat bagus. Pada kenyataannya, sedaqah, di satu pihak mengungkapkan penerimaan manusia pada kehendak Allah Israel, tetapi di pihak lain juga mengungkapkan kesetaraan hubungan seseorang dengan sesamanya (lih. Kel. 20:12-17), terutama orang miskin, orang asing, para yatim-piatu dan jada-janda (lih. Ul. 10:18-19). Kedua arti itu berkaitan satu sama lain, karena bagi orang Israel, memberi kepada orang miskin, tidak lain dan tidak bukan sama artinya dengan memberikan kembali kepada Allah apa yang telah mereka dapatkan dari Dia, yang dahulu telah menaruh belas-kasihan kepada kesengsaraan umat-Nya. Pastilah bukan suatu kebetulan, bahwa penyerahan dua loh batu berisi hukum kepada Musa di Gunung Sinai itu terjadi sesudah mereka menyebrangi Laut Merah. Mendengarkan Hukum itu mengandaikan iman kepercayaan kepada Allah yang mula-mula "mendengar keluh-kesah" umat-Nya, dan lalu "turun untuk melepaskan mereka dari tangan orang Mesir" (lih. Kel. 3:8). Allah telah menaruh perhatian kepada seruan orang papa dan pada gilirannya Ia juga meminta supaya Dia didengarkan: dengan kata lain, Ia meminta sikap yang adil juga terhadap orang-orang papa (lih. Sir. 4:4-5, 8-9), terhadap orang-orang asing (lih. Kel. 22:20), terhadap budak-belian (lih. Ul. 15:12-18). Untuk dapat memasuki keadilan ini haruslah orang keluar dari dan meninggalkan rasa puas dirinya yang semu, yakni ketertutupannya yang mendalam, sebab justru itulah biang-keladi dari ketidakadilan. Dengan kata lain, yang sebenarnya dibutuhkan sekarang adalah suatu "exodus" yang lebih mendalam dari pada yang dahulu pernah dilakukan oleh Allah dengan Musa, yakni suatu pembebasan hati, yang tidak akan dapat dilakukan oleh Hukum itu dengan kekuatannya sendiri.

Kalau demikian, masih adakah bagi manusia harapan akan adanya keadilan?

Kristus, Keadilan Allah

Kabar Gembira kekristenan dengan sangat positif menjawab kehausan manusia akan keadilan itu. Santo Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Roma menegaskan: "Tetapi sekarang, tanpa hukum Taurat kebenaran Allah telah dinyatakan ... karena iman dalam Yesus Kristus bagi semua orang yang percaya. Sebab tidak ada perbedaan. Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah, dan oleh kasih karunia telah dibenarkan dengan cuma-cuma karena penebusan dalam Kristus Yesus. Kristus Yesus telah ditentukan Allah menjadi jalan pendamaian karena iman, dalam darah-Nya" (lih. Rom. 3:21-25).

Kalau demikian, apakah keadilan Kristus itu? Di atas semauanya, keadilan itu adalah yang keluar dari rakhmat, karena bukan manusia sendirilah yang telah mengadakan perbaikan yakni menyembuhkan diri sendiri dan orang lain. Pada kenyataannya, seperti dikatakan, bahwa "jalan pendamaian" itu mengalir dari darah Kristus, berarti, bahwa sebenarnya bukan kurban dari manusia itu sendiri yang telah membebaskannya dari beban dosa-dosanya, melainkan justru perbuatan kasih Allah, yang bahkan telah membuka Diri-Nya sampai sehabis-habisnya, bahkan sampai pada titik menerima dalam diri-Nya sendiri, "kutuk" yang sebenarnya harus dijatuhkan kepada manusia, sehingga dengan demikian manusia dapat menghaturkan "berkat" yang menjadi hak Allah (lih, Gal 3:13-14). Tetapi justru dari sini langsung muncul keberatan: keadilan macam apakah ini, di mana justru orang yang adil harus mati bagi mereka yang bersalah dan orang yang bersalah malah menerima berkat yang sebenarnya menjadi hak orang yang adil? Apakah ini bukan berarti, bahwa masing-masing menerima apa yang sebenarnya bertentangan dengan yang menjadi "hak"-nya? Pada kenyataannya justru di sinilah kita mendapatkan keadilan Allah, yang begitu berbeda dengan keadilan menurut pemahaman manusia. Allah telah membayar uang tebusan bagi kita dalam diri Putra-Nya, suatu harga tebusan yang sungguh tak terhingga besarnya. Terhadap keadilan Salib seperti itu orang mungkin memberontak, tetapi itu justru menunjukkan betapa manusia adalah makhluk yang sama sekali tidak bisa mencukupi dirinya sendiri. Ia membutuhkan Seorang Lain untuk dapat membuka dirinya dengan sepenuh-penuhnya. Akhir-akhirnya, berbalik kepada Kristus, atau percaya kepada Injil, berarti ini saja: keluar dari kepercayaan-semu bahwa ia mampu mencukupi dirinya sendiri, sehingga ia mempu mendapatkan dan menerima apa yang menjadi kebutuhannya, „Ÿyakni kebutuhan akan orang-orang lain dan Allah sendiri, kebutuhan akan pengampunan dan persahabatan-Nya.

Dengan demikian kita dapat memahami, betapa sama sekali berbedanya iman kepercayaan dengan sekedar perasaan nyaman yang alami. Inilah fakta nyatanya: kerendahan hati sungguh dibutuhkan untuk dapat menerima, bahwa saya membutuhkan Yang Lain untuk dapat membebaskan diri saya dari "apa yang menjadi hak saya" dan untuk dapat menyerahkan diri saya dengan kerelaan sepenuhnya kepada "apa yang menjadi hak-Nya". Dan hal ini terjadi terutama di dalam Sakramen Rekonsiliasi dan Ekaristi. Syukur kepada karya Kristus, sehingga kita dapat masuk ke dalam keadilannya yang "tertinggi" yang adalah karya kasih-Nya (lih. Rom. 13:8-10), yakni keadilan yang sungguh menyadarkan kita, bahwa, dalam segala-galanya, kita ini lebih merupakan "debitor" dari pada "kreditor", justru karena kita telah menerima lebih dari pada yang kita harapkan.

Dikuatkan oleh pengalaman ini Umat Beriman digerakkan untuk berkontribusi menciptakan masyarakat yang adil, di mana setiap orang menerima apa yang dibutuhkannya untuk hidup sesuai dengan martabatnya yang khas sebagai manusia yang berkepribadian, dan di mana keadilan itu sungguh dihidupi oleh cintakasih.

Saudara dan saudari yang terkasih,

Masa Prapaskah ini akan mencapai puncaknya dalam Tri Hari Suci Paskah, di mana, dalam tahun ini juga, kita akan merayakan keadilan Allah, yakni kepenuhan kasih-Nya, anugerah-Nya dan juga karya penebusan-Nya. Semoga bagi seluruh Umat Beriman masa tobat ini akan merupakan masa pertobatan yang otentik dan masa untuk memupuk pengenalan kita akan misteri Kristus, yang telah datang untuk memenuhi setiap keadilan. Dengan harapan-harapan ini, Saya dengan setulus hati memberikan kepada Anda semua: Berkat Apostolik Saya.

Dikeluarkan di Vatikan, 30 Oktober 2009.

Benediktus XVI,

Paus

http://www.mirifica.net/