23 Maret 2010

Pesan Bapa Suci untuk Hari Doa Panggilan Sedunia ke-47

Minggu Paskah IV, 25 April 2010

Tema:

Kesaksian Membangkitkan Panggilan

Kepada yang terkasih:

Saudara-saudaraku para Uskup dan para Imam, dan

Saudara-saudari seiman sekalian.

Hari Doa Panggilan Sedunia yang ke 47, yang akan dirayakan pada hari Minggu Paskah ke IV - sering kali disebut Hari Minggu Gembala Yang Baik - tgl. 25 April 2010, memberi saya kesempatan untuk menyampaikan sebuah permenungan dengan tema yang kiranya sangat cocok untuk Tahun Imam pada tahun ini, yaitu: Kesaksian Membangkitkan Panggilan. Buah usaha keras kita untuk mempromosikan panggilan pertama-tama bergantung pada tindakan bebas Allah semata. Namun demikian pengalaman pastoral menunjukkan bahwa promosi panggilan ini dapat dibantu melalui kualitas dan kedalaman kesaksian baik personal maupun komunal dari mereka yang telah menjawabi panggilan Tuhan baik dalam pelayanan imamat maupun hidup bakti, karena kesaksian hidup mereka mampu membangkitkan dalam diri orang lain suatu keinginan untuk menanggapi panggilan Kristus dengan tulus hati. Dengan demikian tema ini bertalian erat dengan kehidupan dan tugas perutusan para imam dan kaum religius. Oleh karena itu saya ingin mengajak semua orang yang telah dipanggil oleh Tuhan untuk bekerja di kebun anggur-Nya, untuk membaharui kesetiaan jawaban mereka, khususnya pada Tahun Imam ini sebagaimana yang sudah saya promulgasikan pada Peringatan 150 Tahun Wafatnya St. Yohanes Maria Vianney, seorang Pastor (Curẻ) dari Ars, sebagai model yang tak lekang waktu bagi seorang imam dan gembala.

Dalam Perjanjian Lama para nabi sadar bahwa mereka dipanggil untuk memberi kesaksian melalui kehidupan mereka sendiri pesan yang harus mereka wartakan. Dan mereka dipersiapkan untuk menghadapi kesalah-pahaman, penolakan dan pengejaran terhadap mereka. Tugas yang Allah percayakan kepada mereka sangat menuntut komitmen mereka bagaikan "api yang menyala-nyala" dalam hati mereka, suatu api yang tak dapat dipadamkan (bdk. Yer 20:9). Hasilnya, mereka sebenarnya dipersiapkan untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada Tuhan, bukan hanya kata-kata tetapi juga seluruh diri mereka. Hingga pada kepenuhan waktu, Tuhan Yesus diutus oleh Bapa-Nya (bdk.Yoh 5:36) untuk memberi kesaksian tentang kasih Allah bagi seluruh bangsa manusia, tanpa membeda-bedakan, khususnya perhatian terhadap mereka yang paling kecil, kaum pendosa, kaum tersingkirkan dan kaum miskin. Yesus adalah Saksi yang Paling Agung bagi Allah dan bagi tugas keselamatan bagi semua orang. Dan menjelang akhir masa yang baru itu, Yohanes Pembaptis, dengan membaktikan seluruh hidupnya untuk mempersiapkan jalan bagi Kristus, memberi kesaksian bahwa janji-janji Allah sesungguhnya telah terpenuhi dalam diri Putra Maria dari Nasaret. Ketika Yohanes melihat Yesus datang ke sungai Yordan dimana ia sedang membaptis, ia menunjukkan Yesus kepada para muridnya sebagai "Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia" (Yoh 1:29). Kesaksiannya begitu efektif sehingga membuat dua muridnya "mendengarkan dia, dan mengikuti Yesus" (Yoh 1:37).

Demikian juga panggilan St. Petrus, sebagaimana kita baca dalam Injil Yohanes. Panggilannya terjadi berkat kesaksian saudaranya Andreas, yang telah bertemu sendiri dengan Sang Guru dan menerima ajakan-Nya untuk tinggal bersama Dia. Andreas merasa bahwa ada suatu kebutuhan untuk segera disampaikan kepada Petrus apa yang baru saja dia temukan dengan "tinggal" bersama dengan Tuhan: "Kami telah menemukan Mesias (yang berarti Kristus). Kemudian ia membawa Petrus kepada Yesus" (Yoh 1:41-42). Hal yang sama terjadi pada diri Natanael atau Bartolomeus. Syukurlah berkat kesaksian murid yang lain, Filipus, dengan penuh sukacita menceritakan kepada Petrus tentang penemuan yang besar itu: "Kami telah menemukan Dia yang disebut oleh Musa dalam Kitab Taurat dan oleh para Nabi, yaitu Yesus dari Nasaret anak Yusuf" (Yoh 1:45). Inisiatif Allah yang bebas dan simpatik tersebut menuntut tanggung-jawab semua orang yang telah menerima undangan-Nya untuk menjadi sarana panggilan ilahi-Nya, melalui kesaksian mereka sendiri. Hal ini juga terjadi dalam Gereja saat ini: Tuhan menggunakan kesaksian para imam yang tetap setia terhadap tugas perutusan mereka agar dapat membangkitkan panggilan imam dan religius yang baru demi pelayanan umat Allah. Karena alasan inilah, saya ingin menunjukkan tiga aspek kehidupan dari seorang imam yang saya pandang sangat hakiki untuk kesaksian imamat yang efektif.

Aspek pertama dan yang paling mendasar, dan ini dapat dilihat dalam setiap panggilan imamat dan hidup bakti, yaitu persahabatan dengan Yesus. Yesus selalu tinggal dalam persekutuan dengan Bapa dan inilah yang membuat para murid semakin penasaran untuk memiliki pengalaman yang sama. Dari Dia-lah para murid belajar untuk tinggal dalam persekutuan dan komunikasi timbal-balik (dialogue) yang tak pernah putus dengan Allah. Jika seorang imam itu adalah "manusia Allah" (man of God), yaitu seseorang yang menjadi milik Allah dan membantu sesamanya untuk mengenal dan mengasihi Dia; maka ia tidak akan merasa sia-sia untuk menghayati kemesraan yang mendalam dengan Allah, tinggal dalam kasihNya dan siap sedia mendengarkan firmanNya. Doa adalah bentuk pertama kesaksian yang dapat membangkitkan panggilan. Sama seperti Rasul Andreas, yang menyampaikan kepada saudaranya bahwa dia telah melihat Sang Guru, demikian pula setiap orang yang ingin menjadi seorang murid dan saksi Kristus harus "telah melihat" Dia secara pribadi, yaitu mengenal Dia, belajar mengasihi Dia dan tinggal bersama Dia.

Aspek kedua yang termasuk dalam pengudusan hidup imamat dan hidup bakti adalah penyerahan diri seutuhnya kepada Allah. Rasul Yohanes menulis: "Demikianlah kita ketahui kasih Kristus, yaitu bahwa Ia telah menyerahkan nyawaNya untuk kita; jadi kita-pun wajib menyerahkan nyawa kita untuk saudara-saudara kita" (1 Yoh 3:16). Dengan firman ini, Rasul Yohanes mengajak para murid untuk masuk ke dalam pikiran Yesus yang dalam seluruh hidupNya hanya melakukan kehendak Bapa hingga sampai menyerahkan hidupNya di atas Salib. Di sinilah kasih Allah dinyatakan secara penuh; yaitu kasih yang telah mengalahkan kegelapan setan, dosa dan kematian. Kisah Yesus pada Perjamuan Terakhir: Dia bangkit dari meja perjamuan, menanggalkan jubah-Nya, mengambil kain (lenan) dan mengikatkannya pada pinggangNya, dan Ia membungkuk untuk membasuh kaki para muridNya. Kisah ini mau mengungkapkan makna pelayanan dan pemberian Diri seutuhnya, demi ketaatanNya kepada kehendak Bapa (bdk. Yoh 13:3-15).

Dalam mengikuti Yesus, setiap orang dipanggil kepada suatu pengudusan hidup secara sangat khusus untuk memberi kesaksian bahwa ia telah menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah. Inilah yang pada gilirannya menjadi sumber kekuatannya untuk memberi diri kepada mereka yang telah dipercayakan oleh Sang Penyelenggara Illahi dalam pelayanan pastoral secara penuh. Ini adalah suatu pengabdian yang terus menerus dan dengan gembira menjadi rekan dalam perjalanan bagi banyak saudara. Demikian juga dengan penyerahan diri memampukan mereka membuka diri terhadap perjumpaan dengan Kristus, supaya Firman-Nya menjadi suluh bagi langkah mereka. Kisah tentang setiap panggilan hampir selalu kait-mengait dengan kesaksian seorang imam yang dengan senang hati menghidupi anugerah yang ada pada dirinya kepada saudara-saudarinya demi Kerajaan Allah. Terjadi demikian karena kehadiran dan kata-kata seorang imam mempunyai kekuatan untuk membangkitkan keingin-tahuan dan bahkan mampu menghantar kepada suatu keputusan final (bdk. Yohanes Paulus II, Himbauan Apostolik, Pastores Dabo Vobis, 39).

Aspek ketiga yang memberikan ciri khas pribadi seorang imam dan religius adalah hidup dalam persekutuan. Yesus menunjukkan bahwa tanda bagi seseorang yang ingin menjadi seorang murid adalah persekutuan yang mendalam dalam kasih: "Dengan demikian semua orang akan tahu, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi" (Yoh 13:35). Dengan cara hidupnya yang khusus, seorang imam harus menjadi sosok pribadi persekutuan (man of communion): terbuka bagi semua orang, mampu menyatukan semua orang yang telah Tuhan percayakan kepadanya menjadi satu kawanan peziarah, membantu mengatasi aneka perpecahan, mampu memulihkan keretakan, mampu menangani konflik dan kesalah-pahaman, mampu mengampuni kesalahan-kesalahan. Pada bulan Juli 2005, ketika saya berbicara kepada kaum klerus di Aosta, saya menegaskan bahwa jika kaum muda melihat para imam mereka menjauh dan nampak murung, mereka tidak mungkin dapat mengikuti teladannya. Mereka akan tetap ragu-ragu jika mereka diajak untuk merenungkan tentang kehidupan seorang imam seperti itu. Sebaliknya, mereka ingin melihat contoh konkrit persekutuan hidup yang mengungkapkan keindahan menjadi seorang imam. Hanya dengan cara demikian kaum muda akan mengatakan, "Ya, yang ini mungkin menjadi masa depan saya; saya rasa mampu menghayati hidup seperti ini" (Insegnamenti I, [2005], 354). Konsili Vatikan II, yang berbicara tentang kesaksian yang membangkitkan panggilan, menekankan contoh kasih dan kerjasama fraternal yang harus ditawarkan oleh seorang imam (bdk. Dekrit Optatam Totius, 2).

Di sini saya ingin mengingatkan kembali kata-kata pendahulu saya, Venerabilis Yohanes Paulus II: "Kehidupan yang paling hakiki dari para imam, pengabdian mereka kepada kawanan Allah tanpa syarat, kesaksian pelayanan kasih kepada Tuhan dan kepada Gereja-Nya - suatu kesaksian yang ditandai oleh penerimaan secara bebas akan Salib dalam semangat pengharapan dan kegembiraan Paskah - kesatuan dan semangat persaudaraan demi pewartaan Injil kepada dunia adalah faktor utama dan paling meyakinkan untuk pertumbuhan panggilan" (Pastores Dabo Vobis, 41). Dapat dikatakan bahwa panggilan imam lahir karena kontak dengan para imam, bagaikan suatu harta peninggalan yang berharga diwariskan melalui kata, teladan dan seluruh gaya hidupnya.

Hal serupa dapat berlaku untuk hidup bakti. Hakikat hidup kaum religius pria dan wanita adalah mewartakan kasih Kristus kapan saja ketika mereka mengikuti Kristus dengan ketaatan penuh terhadap Injil dan dengan senang hati mendasarkan pertimbangan dan perbuatan mereka menurut ketentuan Injil. Mereka menjadi "simbol pertentangan" dunia, karena pola pikir dunia kerap kali dipengaruhi oleh materialisme, egoisme dan individualisme. Dengan membiarkan diri dipenuhi oleh Allah melalui penyangkalan diri, maka kesetiaan dan kekuatan kesaksian mereka secara terus-menerus akan membangkitkan dalam hati banyak orang muda keinginan untuk mengikuti Kristus dengan tulus dan sepenuh hati. Mengikuti Kristus yang murni, miskin dan taat, dan menyerupai Dia adalah cita-cita hidup bakti, yaitu suatu kesaksian tentang supremasi Allah yang tak terbatas dalam hidup dan sejarah manusia.

Setiap imam, setiap religius, yang setia terhadap panggilannya, memancarkan kegembiraan dalam melayani Kristus dan akan menarik semua orang Kristen untuk menanggapi panggilan universal kepada kekudusan. Konsekwensinya, agar dapat mendukung panggilan untuk pelayanan imam dan hidup bakti, dan agar lebih efektif dalam mempromosikan kejelian panggilan, maka tak mungkin kita mampu melakukan itu semua tanpa contoh nyata atau teladan dari mereka yang telah mengatakan "ya" kepada Allah dan rencana-Nya bagi kehidupan masing-masing individu. Kesaksian pribadi, dalam aneka bentuk pilihan hidup yang konkrit, akan mendukung kaum muda untuk mengambil keputusan penting demi menentukan masa depan mereka. Kaum muda yang ingin memilih jalan ini perlu memiliki ketrampilan untuk bergumul dan berdialog agar dengan ketrampilan-ketrampilan tersebut mereka mampu menerangi dan mendampingi, terlebih lagi teladan kehidupan nyata dalam menghayati suatu panggilan. Inilah yang dilakukan oleh Pastor (Curẻ) kudus dari Ars: dia selalu mengadakan kontak yang akrab dengan umat parokinya, mendidik mereka "pertama-tama melalui kesaksian hidupnya. Hanya dari teladan hidupnya, kaum beriman belajar berdoa" (Surat Promulgasi Tahun Imam, 16 Juni 2009).

Semoga Hari Doa Sedunia Untuk Panggilan ini sekali lagi mampu menawarkan bagi banyak kaum muda kesempatan untuk merenungkan panggilan mereka dan tetap setia pada panggilannya dalam kesederhanaan, keyakinan iman dan keterbukaan diri secara penuh. Semoga Perawan Maria, Bunda Gereja, memperhatikan setiap benih panggilan di dalam lubuk hati orang-orang yang dipanggil Tuhan untuk mengikuti Dia secara lebih dekat, semoga dia membantu benih panggilan ini tumbuh menjadi pohon yang besar, menghasilkan buah-buah kebaikan secara berlimpah bagi Gereja dan bagi seluruh bangsa manusia. Melalui doa ini saya sertakan Berkat Apostolikku bagi kamu semua. (romano)


http://www.mirifica.net/

15 Maret 2010

Vatican rep to UN calls upon governments to respect religious freedom

GENEVA (CNS) -- The Vatican's chief representative to the U.N. agencies in Geneva called upon the nations of the world to respect the right of all people to practice religion freely and urged world leaders to punish those who persecute religious minorities.

Addressing a session of the United Nations Human Rights Council in the Swiss capital March 12, Archbishop Silvano M. Tomasi, the Vatican representative, said harassment of religious minorities often is "encouraged by the silent collusion of state authorities and by a judicial system that is ineffective or partial."

The archbishop called for the world's governments to pass legislation imposing tough sanctions against those found guilty of harassing people because of their faith. Citing recent surveys that found nearly 70 percent of the world's population living in countries that restrict religious practices, Archbishop Tomasi recalled how some religious minorities face physical harm or death threats, the loss of their homes and the destruction of houses of worship.

http://www.cns.com/

14 Maret 2010

MALAYSIA - ‘Allah’ crisis holds hope for new dialogue

Published Date: January 14, 2010

BANGKOK (UCAN) — The storm which erupted after a High Court ruled that the national Catholic weekly “Herald” was allowed to use the word “Allah” saw eight churches and one Christian institution in the country attacked.

A Sikh temple and a mosque were also targeted. Such attacks are unprecedented in Malaysian history and it has left the country in crisis.

There are nevertheless signs of hope with a tremendous outpouring of sympathy by Muslims and others after the incidents.

But let’s first look at the “Herald” itself and its influence in the country.

The first thing to note is that it is extremely difficult for a Muslim to get hold of a copy of the “Herald” due to the government’s strict publishing laws. The paper is only sold at Catholic churches and has a circulation of just 13,000-14,000 among the country’s 900,000 Catholics.

The country’s laws against proselytizing Muslims strongly discourage any Catholic from giving a copy of the “Herald” to his or her Muslim friend or neighbor.

Second, English is the main language used in the publication. There are small sections in Malay, Chinese and Tamil. The “Herald” wants to be able to resume using the word “Allah” only in its Malay section.

Use of ‘Allah’

This leads to another pertinent question: Who are the Christians who use the word “Allah?”

Christians who worship in English, Chinese or Tamil would never use “Allah” for God — only Malay-speaking Christians use this term. They are mainly the indigenous peoples of the eastern states of Sabah and Sarawak on Borneo island, although many work or study in western or peninsular Malaysia, and many Catholic churches there conduct Malay-language Masses to serve them.

The heated debate following the court ruling has generally missed these points.

Even some Christians have called for their fellow Christians to drop using the word “Allah” for the sake of national peace and harmony, not being aware that East Malaysian Christians have been using this word for more than 100 years.

Politically orchestrated?

The Jan. 6 stay order on the execution of the Dec. 31 High Court decision.

Some Muslims have always had a strong suspicion that Christians are out to convert them and that this whole “Allah” issue is just one attempt to confuse them. They are unaware that East Malaysian Christians are at home with the word.

Many Malaysians, however, see the whole issue as being politically orchestrated and a way of using Muslims’ sensitivities to gain votes.

This alleged politicization, ironically, has led to new efforts by both sides to reach out to one another.

More than 100 civil society groups representing a spectrum of Malaysian society have come forward to condemn the church attacks. Church leaders have called on all Christians not to react but to respond with love, forgiveness and prayer, while Muslims have volunteered to help patrol churches.

Individual Muslims have also shown solidarity with Christians through Facebook.

Possible outcome

But the most positive outcome may be the creation of a new culture of interreligious dialogue in the country, something that has generally been considered “too sensitive.”

Many Muslim groups including the opposition Islamic party have expressed readiness to meet and talk with Christian leaders, and also called for interfaith councils to discuss and resolve interreligious issues.

A public interreligious forum in Kuala Lumpur on Jan. 11 entitled “Allah: Whose is it?” attracted 1,000 people of various religions. Most of the speakers were Muslim scholars. Media reported the discussion was calm despite divergent viewpoints.

A Muslim scholar who spoke at the forum told me that dialogue must continue even though we often have to “agree to disagree.”

Such dialogue cannot come at a better time, when such a huge failure in communication is apparent.

Finally, another outcome is that the indigenous Christians of East Malaysia are beginning to assert their right to worship in the way they have always done. Media reported them stating that though both they and their Muslim neighbors use “Allah,” there has never been a problem.

The East Malaysian Christians who are bumiputra (sons of the soil), like Malay-Muslims, may be the determining factor in how this issue turns out in the end.

Francis Chan has been involved in UCA News since 1999. He now serves as chief of its Malaysia-Thailand-Cambodia-Laos Desk.

MS08533.1584 January 14, 2010 75 EM-lines (700 words)

http://www.ucanews.com/

09 Maret 2010

Holy See Proposes Human Rights to End Recession

Says People Must Be Protected First

GENEVA, Switzerland, MARCH 8, 2010 (Zenit.org).- Defending human rights will contribute to ending the financial crisis, according to a Holy See representative at the United Nations.

Archbishop Silvano Tomasi, the Holy See's permanent observer at the Geneva U.N. offices, affirmed this in his address last Wednesday to the 13th session of the Human Rights Council.

"The delegation of the Holy See wishes to reaffirm its conviction that the perspective of human rights offers a positive contribution for a solution to the present financial crisis," the archbishop said. "Although it is true that some signs of recovery are being seen, the crisis continues to worsen the situation of millions of people in their access to essential needs of life" and "compromises the retirement plans" of many.

Regulations are needed that will ensure lasting and global development, the prelate proposed. And he said there is a "unique opportunity" to tackle the "roots of the crisis" by implementing human rights in the "economic, civil and political" realms.

Equality and justice

The Holy See representative reflected on the United Nations Report on the negative consequences of the financial crisis: the scandal of hunger, growing inequality, millions of unemployed, millions of new poor, failure of institutions, lack of social protection for vulnerable people, etc.

Citing Benedict XVI's social encyclical "Caritas in Veritate," he pointed out the imbalances that occur when "separating economic management, to which the production of wealth alone corresponds, from political action, which should have the role of obtaining justice through redistribution."

"Equality and justice are the essential criteria to manage the world economy," stressed Archbishop Tomasi.

And it is possible to promote human rights, the prelate affirmed, if states "translate principles into laws and make on the spot changes a reality."

Governments are the primary protagonists in implementing human rights, the Holy See representative stated, but collaboration with civil society and the international community should not be lacking.

"The common objective," he said, "is the protection of human dignity that connects the whole of the human family," a unity "rooted in these four fundamental principles: the central character of the human person, solidarity, subsidiarity and the common good."

Ignoring people

The prelate cautioned against solutions to the crisis that consider the "reform of the financial system" or of "economic models" without taking into account the needs of people.

On the contrary, "access to resources" must be guaranteed "to improve their conditions of life" and to allow them to "put their talents at the service of the local community and of the universal common good," he said.

To make this happen, Archbishop Tomasi explained, "the rules that govern the financial system" must be modified, leaving aside the "old forms of greed that have led to the present crisis" and encouraging the promotion of an "effective integral development and the implementation of human rights" because "the person, in his integrity, is the first capital to protect and appreciate."


http://www.zenit.org/