SURAT
APOSTOLIK
TAHUN IMAN 11
OKTOBER 2012 - 2013
YANG
DITERBITKAN SEBAGAI
“MOTU PROPRIO”
“PINTU KEPADA
IMAN”
BENEDIKTUS
XVI
UNTUK
MENCANANGKAN TAHUN IMAN
1.
“Pintu kepada Iman” (Kis. 14:27) senantiasa terbuka bagi kita, memasukkan kita
ke dalam persekutuan hidup dengan Allah dan memberi
tawaran untuk masuk ke dalam
Gereja-Nya. Melintasi ambang pintu ini dimungkinkan
apabila Sabda Allah
diwartakan dan hati manusia
membiarkan dirinya dibentuk oleh rakhmat yang senantiasa mampu mengubah.
Memasuki pintu gerbang itu berarti memulai suatu perjalanan yang akan
berlangsung seumur hidup. Ia mulai dengan baptisan (bdk. Rom. 6:4), dengan mana
kita dapat menyebut Allah sebagai Bapa kita, dan perjalanan itu akan berakhir
dengan kematian yang memasukkan kita ke kehidupan kekal, buah dari kebangkitan
Tuhan Yesus, yang, dengan anugerah Roh Kudus, memang berkehendak menarik semua
orang yang percaya kepada-Nya untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya (bdk. Yoh.
17:22). Beriman kepada Tritunggal –Bapa, Putra dan Roh Kudus– adalah percaya
kepada Allah yang mahaesa yang adalah kasih (bdk. 1Yoh. 4:8), yaitu: Bapa, yang
dalam kepenuhan waktu telah mengutus Putra-Nya untuk menyelamatkan kita, yakni
Yesus Kristus, yang melalui misteri wafat dan kebangkitan-Nya telah menebus
dunia; Roh Kudus, yang membimbing Gereja mengarungi jaman sambil menantikan
kedatangan Tuhan yang akan datang kembali dalam kemuliaan.
2. Sejak
mulai memangku jabatan sebagai Pengganti Petrus, saya telah berbicara tentang
perlunya menemukan kembali perjalanan iman kita itu, agar supaya ia dapat
memberikan pencerahan yang lebih jelas atas kegembiraan dan semangat yang
senantiasa diperbarui dari perjumpaan kita dengan Kristus. Dalam homili yang
saya sampaikan pada Misa pentakhtaan saya sebagai Paus saya
mengatakan: “Gereja, secara keseluruhan, bersama dengan semua pastor-pastornya,
seperti Kristus, harus bergerak untuk
membimbing umat keluar dari pada gurun, menuju ke tempat kehidupan, ke dalam
persahabatan dengan Putra Allah, kepada Dia, Sang Pemberi kehidupan, bahkan
kehidupan yang berkelimpahan”.
Sering sekali terjadi, bahwa Umat Kristiani lebih menaruh perhatian kepada
konsekwensi-konsekwensi sosial, budaya dan politis dari komitmen mereka, karena
mereka berpendapat bahwa iman-keprcayaan akan dengan sendirinya menyatakan diri
secara kentara di dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal kenyataannya, anggapan
sedemikian itu bukan saja tidak bisa diandaikan terjadi dengan sendirinya,
tetapi cukup sering bahkan secara terang-terangan diingkari.
Sementara di masa lampau sangat mungkin orang dapat mengenal kembali suatu
matriks kemasyarakatan yang mempersatukan, yang secara luas diterima sebagai
daya tarik kepada isi iman-kepercayaan dan nilai-nilai yang lahir dari sana,
tetapi di masa sekarang ini rupanya hal itu tidak terjadi lagi pada
kelompok-kelompok masyarakat luas dan itu adalah akibat dari adanya krisis iman
yang mendalam yang telah menimpa banyak bangsa.
3. Kita tidak
dapat menerima bahwa garam menjadi tawar atau bahwa pelita ditaruh di bawah
gantang (lih. Mat. 5:13-16). Orang-orang jaman sekarangpun masih bisa mengalami
kebutuhan pergi ke sumur, seperti wanita Smaria, untuk mendengar Yesus
mengundang kita untuk percaya kepada-Nya serta menimba dari sumber air hidup
yang memancar keluar dari dalam diri-Nya (lih. Yoh. 4:14). Kita harus menemukan
kembali cita-rasa sedapnya menyantap sabda Allah, yang dengan setia telah
diserah-alihkan kepada Gereja, dan atas roti kehidupan yang telah diserahkan
bagi kehidupan para murid-Nya (bdk. Yoh. 6:51). Sungguh, pada jaman inipun
ajaran Yesus masih tetap bergema kuat: “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang
akan dapat binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup
yang kekal” (Yoh. 6:27), Bahkan pertanyaan yang kita ajukan sekarangpun masih
sama dengan pertanyaan yang diajukan oleh para pendengar pada waktu itu: "Apakah
yang harus kami perbuat, supaya kami mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki
Allah?" (Yoh. 6:28). Maka percaya kepada Yesus Kristus adalah jalan untuk sampai
dengan pasti kepada keselamatan.
4. Atas dasar
itu semua maka saya telah mengambil keputusan untuk mencanangkan suatu Tahun
Iman. Tahun itu akan dimulai pada tanggal 11 Oktober 2012, yakni hari ulang
tahun yang ke limapuluh dari pembukaan Konsili Vatikan II, dan akan ditutup pada
Hari Raya Tuhan kita Yesus Kristus Raja Semesta Alam, pada tanggal 24 November
2013. Tanggal yang mengawali Tahun Iman itu, 11 Oktober 2012, merupakan juga
hari ulang tahun yang ke duapuluh dari publikasi buku Katekismus Gereja Katolik, sebuah naskah
yang sudah dipromulgasikan oleh pendahulu saya, Beato Yoahnes Paulus II,
dengan maksud untuk memberikan kepada segenap umat beriman gambaran tentang
kekuatan dan keindahan iman-kepercayaan kita. Dokumen tersebut, sebagai buah
yang otentik dari Konsili Vatikan II, telah diminta oleh Synode Luar-biasa Para
Uskup pada tahun 1985 untuk dijadikan sarana-bantu bagi pelayanan Katekese
dan telah diterbitkan dalam kerja-sama dengan semua Uskup dalam Gereja Katolik.
Tambahan pula, tema dari Sidang Umum Synode Para Uskup yang telah saya
undang untuk bulan Oktber 2012 yang akan datang ini adalah: “Evangelisasi Baru
utuk Mentransmisikan Iman Kristiani”.
Hal itu akan menjadi kesempatan yang baik untuk untuk menghantar
masuk segenap Gereja ke dalam
suasana refleksi yang khusus dan menemukan kembali iman-kepercayaannya. Ini
bukan yang pertama kalinya Gereja dipanggil untu merayakan suatu Tahun
Iman. Pendahulu saya yang Mulia Hamba Tuhan Paus Paulus VI pernah memaklumkan
itu pada tahun 1976, untuk memperingati kemartiran santo Petrus dan Santo Paulus
pada peringatan semblan belas abad tindakan yang paling luhur dari kesaksian
mereka. Menurut hemat Beliau iulah saat yang paling mulia bagi seluruh Gereja
untuk untuk menyatakan “suatu pengakuan yang otentik dan tulus dari
iman-kepercayaan yang sama”. Apalagi beliau menghendaki bahwa hal
itu masih dikuatkan lagi dengan cara “baik pribadi maupun bersama-sama, baik
secara bebas namun bertanggngjawab, baik secara lahir maupun secara batin,
dengan rendah hati dan berterus-terang”.
Beliau berpendapat, bahwa dengan cara demikian seluruh Gereja dapat
memulihkan kembali “pemahaman yang tepat atas iman-kepercayaan itu, sehingga dengan demikian juga menguatkannya, memurnikannya,
dan mengakuinya”. Perayaan
besar-besaran Tahun itu semakin menunjukkan betapa umat memang membutuhkan
perayaan semacam itu. Upacara penutupannya dengan Pengakuan Iman Umat Allah
dimaksudkan untuk menunjukkan, betapa muatan hakiki iman itu yang selama
berabad-abad telah membentuk warisan segenap orang yang percaya itu, perlu
ditegaskan, dipahami dan diselidiki lagi secara baru, agar supaya kesaksian iman
itu menjadi konsisten dengan hal-ikhwal sejarah semasa yang berbeda sekali
dengan yang dari masa lampau
5. Dalam arti
tertentu, Yang Mulia Pendahulu saya itu melihat Tahun Iman ini sebagai suatu
“konsekwensi dan kebutuhan dari masa pasca konsili”,
sambil menyadari sepenuhnya tentang kesukaran-kesukaran jaman yang serius,
teristimewa yang berkaitan dengan pengakuan iman yang sejati dan penafsirannya
yang benar. Menurut hemat saya timing
peluncuran Tahun Iman yang bertepatan dengan ulang tahun ke lima-puluh pembukaan
Konsili Vatikan II itu akan memberikan kesempatan yang sangat bagus dalam
membantu umat untuk memahami, bahwa naskah dokumen yang telah diwariskan oleh
para Bapa Konsili itu, dengan kata-kata Beato Yohanes Paulus II, “sama sekali belum kehilangan nilai dan
kecemerlangannya”. Naskah-naskah itu perlu dibaca dengan benar, ditangkap
dengan akal budi secara luas dan dicamkan di dalam hati secara mendalam sebagai
dokumen yang penting dan mengikat dari Magisterium Gereja sendiri, semuanya di
dalam jalur Traidisi Gereja … Saya sendiri merasa lebih berkewajiban untuk
menunjukkan kepada Konsili itu sebagai rakhmat agung yang dicurahkan Allah kepada
Gereja Abad Keduapuluh itu, di mana kita dapat menemukan penunjuk arah untuk
dapat mengarungi abad yang sekarang baru akan mulai itu”.
Saya juga ingin menekankan dengan sangat sekali lagi, apa yang sudah saya
katakan tentang konsili ini beberapa bulan setelah saya terpilih sebagai Paus
Pengganti Petrus: ”Apabila, kita, menafsirkan dan mengimplementasikan Konsili
itu dengan bimbingan suatu hermeneutika yang benar, maka Konsili itu bisa dan
akan menjadi semakin berdaya bagi pembaharuan Gereja yang senantiasa diperlukan
itu”.
6. Pembaruan
Gereja juga bisa dilaksanakan melalui kesaksian yang diberikan oleh hidup umat
beriman: yakni justru melalui cara-mengada mereka di dunia ini, Umat Kristiani
dipanggil untuk memancarkan sabda kebenaran yang diwariskan Tuhan kepada kita.
Konsili sendiri, dalam Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium, mengatakan
ini: “Sedangkan
Kristus, yang “suci, tanpa kesalahan, tanpa noda” (Ibr 7:26), tidak mengenal
dosa (lih. 2Kor. 5:21), melainkan dating hanya untuk menebus dosa-dosa umat (lih
Ibr 2:17), Gereja merangkum pendosa-pendosa dalam pangkuannya sendiri. Gereja
itu suci, dan sekaligus harus selalu dibersihkan,serta terus-menerus menjalankan
pertobatan dan pembaharuan. Gereja “dengan mengembara di antara penganiayaan
dunia dan hiburan yang diterimanya dari Allah Gereja maju, sambil mewartakan
salib dan wafat Tuhan ahingga Ia
datang (lih 1Kor. 11:26). Tetapi Gereja diteguhkan oleh daya Tuhan yang telah
bangkit, untuk dapat mengatasi sengsara dan kesulitannya, baik dari dalam maupun
dari luar, dengan kesabaran dan cinta kasih, dan untuk dengan setia mewahyukan
misteri Tuhan di dunia, kendati dalam kegelapan, sampai ditampakkan pada akhir
Zaman dalam cahaya yang penuh.
Dalam perspektif ini maka Tahun Suci itu adalah suatu panggilan kepada
pertobatan yang otentik kembali kepada Tuhan, satu-satunya Juruselamat dunia.
Melalui misteri wafat dan kebangkitan-Nya, Allah telah menyatakan di dalam
kepenuhannya kasih yang menyelamatkan dan memanggil kita kepada pertobatan hidup
melalui pengampunan dosa (lih. Kis. 5:31). Bagi Santo Paulus, kasih ini
memasukkan kita ke dalam suatu kehidupan baru: “Kita telah dikuburkan
bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama seperti
Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan Bapa, demikian
juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (Rom. 6:4). Melalui
iman-kepercayaan, hidup yang baru ini membentuk seluruh keberadaan manusiawi
kita dari akar-akarnya sesuai dengan keadaan baru sebagai buah kebangkitan.
Sejauh manusia dengan bebas bekerja-sama, maka pikiran dan perasaan-perasaannya,
mentalitas dan perilakunya sedikit demi sedikit akan dimurnikan dan
ditransformasikan, dalam suatu perjalanan yang tidak akan pernah sepenuhnya
selesai di dalam hidup ini. “hanya Iman yang bekerja oleh kasih” (Gal. 5:6) akan
menjadi kriteria baru bagi pemahaman dan tindakan yang mengubah seluruh hidup
manusia (bdk. Rom. 12:2; Kol. 3:9-10; Ef. 4:20-29; 2Kor. 5:17).
7.
“Kasih Kristus
menguasai kita” (2Kor. 5:14):
Kasih Kristuslah yang memenuhi hati kita dan mendorong kita unutk
berevangelisasi. Sekarang ini, seperti juga dulu, Kristus mengutus kita ke
lorong-lorong dunia ini untuk memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa di bumi
(bdk, Mat, 28:16). Melalui kasih-Nya, Yesus Kristus menarik kepada diri-Nya
orang-orang dari segala keturunan: dalam setiap jaman Dia menghimpun Gereja
sambil mempercayakan kepada Gereja itu pewartaan Injil dengan perintah-Nya yang
senantiasa baru. Pada jaman sekarangpun dirasa adanya kebutuhan akan komitmen
Gereja yang lebih kuat bagi suatu evangelisasi baru, agar supaya orang menemukan
kembali kegembiraan dalam percaya dan kegairahan dalam mengkomunikasikan iman
itu, Dalam menemukan kembali kasih-Nya itu dari hari ke hari, keseiap-sediaan
untuk diutus dari orang beriman ini mendapatkan kekuatan dan kegairahan yang tak
akan pernah bisa pudar. Iman itu bertumbuh apabila ia dihidupi sebagai
pengalaman kasih yang sudah diterima, juga bila ia dikomunikasikan sebagai suatu
pengalamann rakhmat dan kebahagiaan. Iman itu membuat kita berbuah subur, sebab
dia memperluas hati kita dalam harapan dan memampukan kita untuk memberi
kesaksian yang juga menghidupkan: memang, iman itu membuka hati dan budi siapa
saja yang mendengar dan menjawab undangan Tuhan untuk tetap setia kepada
sabda-Nya dan menjadi murid-Nya. Orang yang percaya, demikian Santo Agustinus
mengatakannya, “menguatkan dirinya sendiri dengan kepercayaannya itu”.
Santo Uskup dari Hippo itu memiliki alasan yang
sungguh tepat untuk mengungkapkan dirinya
seperti itu,
karena sebagaimana kita tahu, hidupnya merupakan suatu pencarian
terus-menerus
akan keindahan iman-kepercayaan itu sampai saat ketika hatinya menemukan istirahat dalam
Allah. Karya tulisnya yang sangat ekstensif, di
mana Agustinus memberi
penjelasan tentang pentingnya percaya dan dan tentang kebenaran iman,
sampai sekarang tetap merupakan warisan dengan kekayaan yang tiada taranya, dan
tetap menjadi sarana bantu bagi banyak orang yang mencari Allah untuk menemukan
jalan yang benar menuju “pintu kepada iman”.
Karena itu,
hanya melalui percaya, iman dapat bertumbuh dan menjadi kuat; tidak ada
kemungkinan lain untuk mendapatkan kepastian yang berkaitan dengan kehidupan
seseorang, selain dari pada meninggalkan diri sendiri dalam suatu crescendo yang terus-menerus, masuk ke
dalam tangan-tangan kasih yang sepertinya terus bertumbuh tanpa henti karena
memang bersal dari Allah.
8.
Pada kesempatan yang membahagiakan ini, saya ingin mengundang saudara-saudara
saya para Uskup dari se antero dunia untuk bergabung bersma dengan Pengganti
Petrus selama masa yang penuh dengan rakhmat spiritual yang dianguerahkan Tuhan
kepada kita ini, untuk mengingat anugerah iman yang sangat berharga itu. Kita
hendak merayakan Tahun itu secara pantas dan menghasilkan buah.
Renungan-renungan tentang iman hendaknya diintensifkan, untuk
membantu segenap umat yang beriman kepada Kristus untuk mendapatkan kesadaran
yang lebih baik dan secara lebih bersemangat melekatkan diri kepada Kabar
Gembira, khususnya ketika sedang terjadi perubahan mendalam seperti yang sedang
dialami oleh umat manusia pada saat ini. Kita akan mendapat kesempatan untuk
mengakui iman-kepercayaan kita akan Tuhan yang bangkit di gereja-gereja katedral kita dan di dalam gereja-gereja di seluruh dunia; juga
di rumah-rumah kita dan di antara
kaum keluarga kita, sehingga setiap
orang akan merasakan betapa perlunya pemahaman yang lebih baik dan
kemudian untuk meneruskannya kepada generasi yang akan datang iman-kepercayaan segala jaman tersebut. Komunitas-komunitas biara seperti juga komunitas-komunitas paroki, dan semua
lembaga-lembaga gerejawi, baik yang lama maupun yang baru, semuanya harus
menemukan cara untuk, sepanjang Tahun itu, mengakui secara publik Credo kita.
9.
Pada tahun ini kita hendak membangkitkan dalam diri setiap orang beriman
aspirasi untuk mengakui
iman-keprcayaannya dalam kepenuhannya dan dengan keyakinan yang baru,
juga
dengan
penuh kepercayaan dan harapan. Tahun itu
akan menjadi juga sebah kesempatan yang bagus untuk mengintensifkan perayaan iman itu di dalam liturgi,
teristimewa di dalam perayaan Ekaristi, yang adalah “puncak ke mana seluruh
kegiatan Gereja diarahkan … tetapi juga adalah sumber dari
mana seluruh kekuatan Gereja itu …
mengalir”.
Pada saat yang sama, kita berdoa juga agar kesaksian hidup umat beriman semakin
dapat dipercaya. Untuk menemukan kembali isi iman yang diakui, dirayakan,
dihayati dan didoakan,
dan untuk merenungkan kembali kegiatan iman itu adalah tugas yang setiap
umat beriman harus menjadikannya tugasnya sendiri, khususnya selama Tahun Iman ini. Bukan
tanpa alasan umat Kristiani pada abad-abad pertama dituntut untuk menghafalkan
pengkuan iman-kepercayaannya itu. Bagi mereka hal itu lalu berfungsi sebagai doa
mereka setiap hari, agar mereka tidak melupakan komitmen yang telah mereka
ikrarkan ketika mereka dibaptis. Dengan kata-kata yang sarat dengan
makna, Santo Agustinus berbicara tentang hal ini dalam homili beliau tentang redditio symboli, tentang
“penyerah-alihan pengakuan iman”, katanya: “Pengakuan iman dari misteri-misteri
kudus yang telah kalian terima secara serentak dan yang pada hari ini
telah
kalian ucapkan kembali satu demi satu itu, adalah
kata-kata di atas mana iman-kepercayaan Bunda Gereja didirikan dengan kokoh,
pada landasan yang menetap, yang adalah Kristus, Tuhan sendiri. Kalian telah
menerimanya, namun alian harus tetap memeliharanya di dalam akal-budi dan
hati-sanubari kalian, kalian harus tetap mengulang-ulangnya di ranjang tempat
tidur kalian, tetap mengingat-inganya di pasar-pasar, tidak melupakannya
sementara kalian makan-makan, bahkan ketika kalian sedang tidurpun, kalian harus
tetap memperhatikannya dengan hati kalian”.
10. Di sini
saya ingin memberikan suatu garis besar dari sebuah sarana yang dimaksudkan
untuk membantu kita memahami secara lebih mendalam, bukan saja isi muatan
iman-kepercayaan itu, melainkan juga tindakan yang akan kita pilih untuk
mempercayakan diri kita sepenuhnya kepada Allah dengan cara yang
sebebas-bebasnya. Pada kenyataannya memang ada kesatuan yang mendalam antara
tindakan dengan mana kita beriman dan muatan isi, kepadanya kita memberikan
kesepakatan kita. Santo Paulus membantu kita memasuki kenyataan ini ketika dia
menulis: “Dengan hati orang percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang
mengaku dan diselamatkan” (Rom. 10:10). Hati itulah yang menunjukkan bahwa
tindakan pertama yang membawa seorang percaya adalah anugerah dari Allah dan
tindakan rakhmat yang bergiat dan mengubah seseorang dari dalam.
Dalam kaitan
ini secara khusus contoh dari Lydia menjadi sangat berarti. Santo Lukas
menceriterakan, bahwa ketika berada di Filipi, pada suatu hari Sabbat, Paulus
memberitakan Injil kepada beberapa wanita, di antaranya adalah Lydia dan “Tuhan
membuka hatinya, sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh
Paulus” (Kis. 16:14).
Di dalam ungkapan itu terkandunglah suatu makna yang penting. Santo Lukas
mengajarkan, bahwa memahami muatan isi dari yang harus diimani tdaklah
mencukupi, apabila hati, yakni tempat kudus yang khas dalam diri seseorang,
tidak turut dibuka oleh rakhmat yang membuat mata bisa melihta apa yang ada di
bawah permukaan dan mamahami, bahwa yang sedang diberitakan itu adalah Sabda
Allah sendiri.
“Pengakuan
dengan bibir” itu pada gilirannya menunjukkan, bahwa “beriman” itu mengandung
juga pengertian “kesaksian secara publik” serta sebuah komitmen. Seorang
Kristiani tidak pernah boleh berpikir bahwa beriman itu adalah urusan pribadi
saja. Beriman berarti memilih untuk memihak kepada Allah dan dengan demikian
berada dengan Dia juga. “Memihak kepada Dia” ini ke depan menunjuk kepada
pemahaman akan alasan-alasan mengapa dia menjadi percaya. Iman-kepercayaan,
justru karena dia adalah suatu tindakan yang bebas, juga menuntut
pertanggungjawaban social aats apa yang diimaninya. Pada hari Pentakosta Gereja
menunjukkan dengan sejelas-jelasnya dimensi publik dari keberimanan ini dan
memberitakan dengan tanpa takut iman-keprcayaan seseorang kepada setiap orang.
Anugerah Roh Kuduslah yang telah membuat kita siap untuk diutus dan menguatkan
kesaksian kita serta menjadikannya terus-terang dan berani.
Pengakuan
iman adalah suatu tindakan yang sekaligus bersifat perseorangan sendiri-sendiri,
tetapi juga secara berkomunitas bersama-sama. Gerejalah yang sebenarnya
pertama-tama menjadi subjek iman-kepercayaan. Di dalam iman-kepercayaan dari
komunitas kristiani, setiap pribadi individual menerima baptisan, suatu tanda
yang effektif masuknya ke dalam kalangan umat beriman untuk memperoleh
keselamatan. Dalam buku Katekismus Gereja
Katolik, kita membaca:
"Aku percaya", itulah iman Gereja, sebagaimana setiap orang beriman mengakui secara
pribadi, terutama pada waktu Pembaptisan. "Kami percaya" itulah iman Gereja,
sebagaimana para Uskup yang berkumpul dalam konsili itu mengakui, atau lebih umum, sebagaimana umat beriman mengakui dalam liturgi. "Aku
percaya": demikianlah juga Gereja, ibu kita berbicara, yang menjawab Allah
melalui imannya dan yang mengajar kita berkata: "aku percaya", "kami percaya".
Jelas sekali,
bahwa pengetahuan akan isi iman-kepercayaan adalah hakiki bagi seseorang untuk
dapat memberikan persetujuannya, artinya untuk mengikatkan diri sepenuhnya,
dengan segenap akal-budi dan kehendaknya, kepada apa yang ditawarkan oleh
Gereja. Pengetahuan akan iman-keprcayaan ini membuka pintu masuk ke dalam
kepenuhan misteri karya penyelamtan yang diwahyukan oleh Allah. Persetujuan yang
kita berikan itu berarti pula, bahwa ketika kita percaya, kita menerima dengan
bebas seluruh misteri iman-kepercayaan, sebab penjamin dari kebenarannya adalah
Allah sendiri, yang mewahyukan dirinya sendiri dan mengijinkan kita mengetahui
misteri cinta-kasih-Nya .
Di pihak
lain, kita tidak boleh melupakan, bahwa di dalam konteks budaya kita, ada banyak
bangsa, yang meskipun tidak meng-claim memiliki anugerah iman itu, namun
secara tulus mereka mencari arti makna yang tertinggi dan kebenaran yang pasti
dari hidup dan dunia mereka. Pencarian ini merupakan “pendahuluan” yang otentik
kepada iman-kepercayaan, justru karean ia menuntun orang pada jalan yang
membawanya ke misteri Allah. Sebenarnya akal-budi manusia mengandung di dalam
dirinya tuntutan pada “apa yang selamanya sahih dan langgeng”.
Tuntutan ini mengandung suatu panggilan yang menetap, karena terpatri secara
tak-terhapuskan di dalam hati manusia, yang membuatnya
bergerak mencari Dia yang kita tidak akan mencarinya seandainya Dia
sudah
tidak lebih dahulu bergerak untuk mendapatkan kita. Pada perjumpaan inilah iman-kepercayaan
mengundang kita dan membuka diri kita sepenuh-penuhnya.
11. Untuk sampai pada pemahaman yang sistematik pada isi
iman-kepercayaan itu, semua orang dapat menemukannya di dalam buku Katekismus Gereja Katolik, suatu
sarana-bantu yang sangat berharga dan taktergantikan. Dokumen itu dalah satu
dari buah-buah terpenting Konsili Vatikan
Kedua. Dalam Konstitusi Apostolik Fidei Drpositum, yang ditandatangani,
bukan hanya karena kebetulan, pada Hari Ulang Tahun yang ke tiga-puluh Pembukaan
Konsili Vatikan Kedua. Beato Yohanes Paulus II menulis: ”Katekismus ini akan
menjadi suatu kontribusi yang sangat penting bagi karya pembaruan seluruh
kehidupan Gereja …
Maka saya menyatakan katekismus itu menjadi suatu sarana-bantu yang sah dan legitim bagi persekutuan gerejawi dan menjadi norma yang pasti bagi
pengajaran iman”.
Dalam
arti inilah bahwa Tahun Iman itu harus
mengupayakan suatu usaha terpadu untuk menemukan kembali dan untuk mempelajari
isi muatan fundamental dair iman-kepercayaan yang sekarang disintesekan secara
sistematis dan secara organis di dalam Katekismus Gereja Katolik. Di sinilah,
sebenarnya, kita melihat kekayaan ajaran yang telah diterima oleh Gereja, dijaga
dan diwartakan sepanjang dua ribu tahun sejarah keberadaannya. Dari Kitab Suci,
sampai ke Para Bapa-bapa Gereja, dari para pakar teologi sampai ke para kudus
sepanjang segala abad, Katekismus ini
memberikan
rekaman yang menetap dari banyak cara yang dipergunakan Gereja untuk
merenungkan iman itu dan berkembang maju dalam ajaran, dan dengan demikian
kepastian bagi para beriman dalam kehidupan beriman mereka.
Dalam
strukturnya yang seperti itu Katekismus
Gereja Katolik ini mengikuti perkembangan iman-kepercayaan langsung kepada
tema-tema besar dalam kehidupan sehari-hari. Di setiap halaman demi halaman,
kita temukan, bahwa apa yang disajikan di sini bukanlah teori belaka, akan
tetapi sungguh suatu perjumpaan dengan Seorang Pribadi yang hidup di dalam
Gereja. Pengakuan iman diikuti oleh penerimaan kehidupan sakramental di mana
Kristus hadir, bergiat dan melanjutkan karya-Nya membangun Gereja.
Tanpa
liturgi dan sakramen-sakramen,
pengakuan itu akan kehilangan efikasitasnya, sebab dia akan kehilangan rakhmat
yang mendukung kesaksiannya secara Krisriani.
Melalui kriterium yang sama, ajaran dari Katekismus ini tentang kehidupan moral
mendapatkan artinya yang penuh, apabila memang ditempatkan dalam keterikatannya
dengan iman-kepercayaan,
liturgi dan doa.
12.
Maka dari itu dalam Tahun Iman itu nanti, Katekismus Gereja
Katolik itu akan dipergunakan sebagai
sarana
bantu untuk memberikan dukungan yang nyata bagi iman-kepercayaan, terutama bagi
mereka yang terkait dengan pembinaan umat kristiani, yang berada dalam saat
sangat krusial dalam konteks budaya kita. Untuk maksud itu saya telah mengundang
Kongregasi Untuk
Ajaran Iman,
dalam kesepakatan dengan Dikasteri-dikasteri Takhta Suci yang kompeten, untuk
mempersiapkan sebuah Nota, yang akan
memberikan arahan-arahan kepada umat beriman Gereja dan perseorangan tentang
bagaimana harus menghayati Tahun Iman itu secara yang se-efektif dan se-tepat
mungkin bagi kepentingan iman-kepercayaan dan pewartaan.
Dalam
skala yang lebih besar dari pada di masa lampau, sekarang ini iman dihantam
dengan serangkaian pertanyaan yang muncul dari suatu sikap dasar yang sudah
berubah, yang, khususnya dewasa ini, bidang kepastian-kepastian rasional diberi
pembatasan-pembatasan terhadap penemuan-penemuan ilmiah dan teknologi. Namun
demikian, Gereja
tidak
pernah merasa takut untuk tetap menunjukkan, bahwa tidak mugkin ada pertentangan
antara iman dan ilmu yang sejati, sebab keduanya, kendatipun jalur yang ditempuh
berbeda, mengarah menuju kepada kebenaran.
13.
Satu hal yang akan sangat menentukan dalam tahun Iman itu adalah, bila kita
menelusuri sejarah iman kita yang sebenarnya ditandai dengan misteri yang
takterkatakan dari keterjalinan antara kesucian dan dosa. Sementara yang pertama
menyoroti kontribusi besar yang diprestasikan oleh laki-laki atau perempuan bagi
pertumbuhan dan perkembangan persekutuan melalui kesaksian hidup mereka, yang
kedua harus menantang dari setiap orang suatu kerja yang tulus dan berlanjut
dari pertobatan untuk mengalami belas-kasih Bapa, yang dtawarkan kepada semua
orang,
Selama waktu itu kita akan harus tetap memandang Yesus Kristus,
“yang
memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada
kesempurnaan” (Ibr.
12:2): di dalam Dia, semua kekhawatiran dan semua kerinduan hati manusia
mendapatkan pemenuhannya. Sukacita dari kasih, jawaban atas drama penderitaan
dan kesakitan, kekuatan dari pengampunan di hadapan sebuah penghinaan yang
diterima dan kemenangan hidup atas kehampaan kematian: semuanya itu mendapatkan
kepenuhannya di dalam misteri inkarnasi-Nya, ketika Dia menjadi manusia, ketika
Dia mengambil-bagian di dalam kelemahan manusiawi kita, sehingga semuanya itu
ditransformasikan-Nya melalui kekuatan dari kebangkitan-Nya. Di dalam Dia yang
telah mati lalu bangkit kembali demi keselamatan kita itu, contoh teladan
iman-kepercayaan yang telah menandai dua ribu tahun sejarah keselamatan kita ini
mendapatkan pencerahan yang sepenuh-penuhnya.
Dengan iman,
Maria menerima kata-kata Malaekat dan percaya kepada pesan bahwa dia akan
menjadi Bunda Allah dalam ketaatan dari kesalehannya (bdk. Luk. 1:38). Ketika
mengunjungi Elizabet, dia melambungkan madah pujiannya kepada Yang Mahatinggi
karena karya ajaib yang telah dikerjakan-Nya di dalam diri mereka yang menaruh
kepercayaan kepada-Nya (bdk. Luk. 1:46-55), Dengan sukacita dan kegentaran dai
melahirkan anaknya yang tunggal, dengan keperawanannya yang tetap tak ternoda
(bdk. Luk.2:6-7). Sambil tetap mempercayai Yusuf, suaminya, ia membawa Yesus ke
Mesir untuk menyelamatkan-Nya dari pengejaran Herodes (bdk. Mat, 2:15-17).
Dengan kepercayaan yang sama, ia mengikuti Tuhan dalam pewartaan-Nya dan tetap
menyertai-Nya sampai ke Golgota (bdk. Yoh. 19:25-27). Dengan
iman-kepercayaannya, Maria mengecap buah-buah kebangkitan Yesus dan sambil tetap
menyimpan setiap kenangan di dalam hatinya (bdk. Luk. 2:19,51). Ia
menyerah-alihkan itu kepada Keduabelas Rasul yang berkumpul di ruang atas untuk
menerima Roh Kudus (bdk. Kis, 114-2:1-4).
Dengan iman,
para rasul telah meninggalkan semuanya dan mengikuti Tuhan mereka (bdk. Mat.
10:28). Mereka percaya kepada kata-kata yang diwartakan-Nya tentang Kerajaan
Allah yang telah datang dan dipenuhi di dalam diri-Nya (bdk. Luk. 11:20). Mereka
hidup dalam persekutuan dengan Yesus yang membina mereka dengan ajaran-Nya,
dengan mewariskan kepada mereka suatu peraturan hidup, dengan mana mereka akan
dikenal sebagai murid-murid-Nya setelah kematian-Nya (bdk. Yoh. 13:34-35).
Dengan iman, mereka pergi ke seluruh dunia, mengikuti perintah-Nya untuk
mewartakan Kabar Gembira ke pada semua ciptaan (bdk. Mrk. 16:15) dan dengan
tanpa takut mereka mewartakan kepada semua orang sukacita kebangkitan,
tentangnya mereka adalah saksi-saksinya yang setia.
Dengan iman,
para murid membentuk komunitas yang pertama, yang dihimpun di sekeliling ajaran
para rasul, di dalam doa, di dalam perayaan Ekaristi, sambil mempertahankan
kepunyaan mereka sebagai milik bersama dan dengan demikian mereka memenuhi
kebutuhan saudara-saudara (bdk. Kis. 2:42-47).
Dengan iman,
para martir menyerahkan hidup mereka, sambil memberi kesaksian pada kebenaran
Injil yang telah mengubah hidup mereka dan membuat mereka mampu mendapatkan
anugerah terbesar dari cinta-kasih: yakni pengampunan kepada para penganiaya
mereka.
Dengan iman,
pria dan wanita telah membaktikan hidup mereka di dalam Kristus, sambil
meninggalkan segala sesuatu, untuk dapat hidup dalam ketaatan, kemiskinan dan
kemurnian dalam kesederhanaan injili, sebagai tanda nyata dari penantian mereka
akan kedatangan Tuhan yang tidak akan tertunda. Dengan iman, tak terbilang
banyaknya orang kristiani telah memajukan tindakan bagi keadilan sehingga dengan
demikian mereka melaksanakan sabda Tuhan, yang datang untuk mewartakan
pembebasan dari semua penindasan dan mewartakan kedatangan suatu tahun penuh
kebaikan bagi semua orang (bdk. Luk. 4:18-19).
Dengan iman,
sepanjang abad-abad, pria dan wanita dari segala usia, yang namanya tercatat di
dalam Kitab Kehidupan (bdk.Why. 7:9; 13:8), telah mengakui keindahan hal
mengikuti Tuhan Yesus kemanapun mereka dipanggil untuk memberi kesaksian pada
kenyataan, bahwa mereka adalah orang-orang kristiani: di dalam keluarga, di
tempat kerja, dalam kehidupan publik, dalam menjalankan kharisma dan pelayanan
yang menjadi panggilan hdiup mereka.
Dengan iman,
kita juga hidup: sambil menghayati pengakuan kita kepada Tuhan Yesus, yang hadir
di dalam hidup kita dan sejarah kita.
14. Tahun
Iman itu juga akan menjadi stau kesempatan yang bagus untuk mengintensifkan
kesaksian amal-kasih, sebagaimana diingatkan oleh Santo Paulus kepada kita:
“Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang
paling besar di antaranya ialah kasih” (Kor. 13:13).
Dengan
kata-kata yang lebih kuat, ‒yang
senantiasa telah menempatkan orang Kristiani di bawah kewajiban,‒ Santo
Jakobus mengatakan: “Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan,
bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu
menyelamatkan dia? Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan
kekurangan makanan sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: "Selamat
jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!", tetapi ia tidak
memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian
juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu
pada hakekatnya adalah mati. Tetapi mungkin ada orang berkata: "Padamu ada iman
dan padaku ada perbuatan", aku akan menjawab dia: "Tunjukkanlah kepadaku imanmu
itu tanpa perbuatan, dan aku akan menunjukkan kepadamu imanku dari
perbuatan-perbuatanku." (Yak. 2:14-18).
Iman tanpa
kasih tidak akan menghasilkan buah, sedang kasih tanpa iman hanya akan merupakan
suatu perasaan yang senantiasa berada di bawah kuasa kebimbangan. Iman dan kasih
saling membutuhkan satu sama lain, sedemikian sehingga yang satu akan membiarkan
yang lain untuk tampil menurut jalurnya sendiri-sendiri. Memang, banyak orang
kristiani membaktikan hidupnya dengan kasih bagi mereka yang tersendiri, yang
termarginalkan atau yang terkucilkan, sebagiamana juga bagi mereka yang
pertama-tama menuntut perhatian kita dan yang paling penting bagi kita untuk
dibantu, sebab justru di dalam diri merekalah nampak cerminan wajah Kristus
sendiri. Melalui iman kita dapat mengenal wajah Tuhan yang bangkit di dalam diri
mereka yang meminta kasih kita. “Sesungguhnya, segala sesuatu yang kamu lakukan
untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah
melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40). Kata-kata ini haruslah menjadi peringatan
yang tidak boleh dilupakan dan harus menjadi undangan yang menetap bagi kita
untuk membalas kasih dengan mana Tuhan telah senantiasa memperhatikan kita.
Imanlah yang memampukan kita mengenal Kristus dan kasih-Nyalah yang mendorong
kita untuk membantu-Nya kapan saja Dia menjadi sesama yang kita jumpai dalam
perjalanan hidup kita. Dikuatkan oleh iman, marilah kita memandang kepada
komitmen kita di dunia ini sambiil menantikan “surga baru dan dunia baru, di
mana terdapat kebenaran” (2Ptr. 3:13; bdk. Why. 21:1).
15. Ketika
sampai pada akhir hidupnya, Santo Paulus meminta Timotius muridnya untuk
“mengejar iman” (lih. 2Tim. 2:22) dengan kesetiaan yang sama seperti ketika ia
masih muda (bdk. 2Tim. 3:15). Kita mendengar undangan ini ditujukan juga kepada
masing-masing kita, supaya jangan ada di antara kita yang menjadi malas di dalam
iman. Iman yang menjadi pendamping seumur hidup inilah yang membuat kita mampu
untuk memahami, setiap kali secara baru, karya-karya ajaib Tuhan bagi kita.
Sambil senantiasa peka terhadap tanda-tanda jaman yang terhimpun di dalam
sejarah kita di masa sekarang ini, iman itu membuat masing-masing kita sendiri
menjadi tanda dari kehadiran Tuhan yang bangkit di dunia kita ini. Apa yang
secara khusus dibutuhkan oleh dunia kita sekarang ini adalah kesaksian yang
dapat dipercaya dari orang-orang yang mendapatkan pencerahan di dalam budi dan
hatinya oleh sabda Tuhan dan kemudian mampu membuka hati dan budi bagi banyak
orang lain untuk merindukan Allah dan hidup yang sejati, hidup yang kekal
abadi.
“Supaya
firman Tuhan beroleh kemajuan dan dimuliakan” (2Tes. 3:1): semoga Tahun Iman ini
membuat hubungan kita dengan Krsitus, Tuhan, semakin bertambah kuat, karena
hanya di dalam Dialah ada kepastian untuk memandang masa depan dan ada jaminan
dari kasih yang sejati dan lestari. Semoga kata-kata Santo Petrus ini akan dapat
memberikan seberkas pencahayaan yang terakhir atas iman ini: “Bergembiralah akan
hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh
berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian
imanmu -- yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji
kemurniannya dengan api -- sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan
dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya. Sekalipun kamu belum
pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun
kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan
yang tidak terkatakan, karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu
keselamatan jiwamu” (1Ptr. 1:6-9) Hidup umat kristiani mengenal baik pengalaman
sukacita maupun pengalaman penderitaan. Betapa banyak orang-orang kudus yang
hidup di dalam kesunyian. Betapa banyak umat beriman, juga sampai pada hari ini,
dicoai oleh berdiamnya Allah, sementara mereka lebih merindukan mendengar
suara-Nya yang menghibur. Percobaan-percobaan hidup, sementara mereka memang
membantu kita untuk memahami misteri salib dan turut mengambil-bagian dalam
penderitaan Kristus (bdk. Kol. 1:24), menjadi juga suatu pendahuluan kepada
sukacita dan harapan ke mana iman juga mengarahkan: “jika aku lemah, maka aku
kuat” (2Kor. 12:10). Kita percaya dengan kepastian yang kokoh bahwa Tuhan Yesus
telah mengalahkan kejahatan dan kematian. Dengan kepercyaan yang pasti ini kita
mempercayakan diri kita kepada-Nya: Dia, yang hadir di tengah-tengah kita,
mengalahkan kekuatan si jahat itu (bdk. Luk. 11:20) dan Gereja, persekutan yang
nampak dari belas-kasih-Nya, tinggal di dalam Dia sebagai suatu tanda dari
rekonsiliasi yang definitif dengan Bapa.
Marilah kita
mempercayakan saat rakhmat ini kepada Bunda Allah, yang diwartakan sebagai yang
“berbahagialah ia, yang telah percaya“ (Luk. 1:45)
Dikeluarkan
di Roma, dari Basilika Santo Petrus, pada tanggal 11 Oktober 2011, tahun
kepausan saya yang ke tujuh.
BENEDIKTUS
XVI, PAUS
Lih. Joannes
Paulus II, Konstitusi Apostolik Fidei
Depositum (11 Oktober
1992): AAS 86 (1994), 113-118.
Lih. Laporan
terakhir Sinode Luar Biasa II Para Uskup (7 Desember 1985), II, B, a, 4
in Enchiridion Vaticanum, ix, n. 1797.
Paulus VI,
Ekshortasi Apostolik Petrum et Paulum Apostolos pada perayaan XIX abad
kemartiran St Petrus dan Paulus (22 Februari 1967): AAS 59 (1967),
196.
Paulus
VI, Credo Umat Allah, Homilidalam Misa pada perayaan XIX abad kemartiran
St Petrus dan Paulus pada penutupan “Tahun Iman” (30 Juni 1968): AAS60
(1968), 433-445.
PaulusVI,
Audiensi Umum (14 Juni 1967): Insegnamenti V (1967),
801.
Sambutan
kepada Curia Romana, (22 Desember 2005): AAS 98 (2006), 52.
Konsili
Ekumenis Vatikan II, Konstiotusi Dogmatis tentang Gereja Lumen
Gentium,
8.
De Utilitate
Credendi,
I:2.
Joannes
Paulus II, Konstitusi Apostolik Fidei Depositum (11
Oktober 1992): AAS 86 (1994), 115 dan 117.