13 Agustus 2009

Seksualitas Manusia: Dalam Perspektif Teologi Tubuh Yohanes Paulus II

Seksualitas manusia ini menjadi tema yang penting dibahas dalam konteks Teologi Penciptaan karena masyarakat dewasa ini seringkali jatuh dalam pandangan seksualitas yang sempit. Ada yang begitu mendewakan seksualitas; ada pula yang menganggap rendah seksualitas.
“Karena seks dilihat melulu dari segi libido dan tubuh, seks lalu memperbudak tubuh dan nafsu manusia sendiri. Sebaliknya, jika seks terlalu dilihat sebagai sesuatu yang spiritual, seperti dalam pandangan sebelum revolusi seksual, maka seks pun terasing dari tubuh, dan menjadi alasan untuk menghakimi tubuh.”[1]
Pandangan yang serba ekstrem ini membuat manusia jatuh pada sikap mengumbar segala dorongan seksual atau menjadi takut dan mudah merasa bersalah terhadap aneka bentuk aktivitas seksual. Masalah seksualitas hanya dipersempit pada urusan seks belaka, dan masalah seks hanya dipersempit pada urusan libido saja. Seks sebagai sesuatu yang baik dan alamiah menjadi sesuatu yang kotor dan penuh rekayasa, yang diperparah secara kultural dalam beberapa masyarakat. Yang paling merasakan semua ini adalah kaum perempuan, yang ditindas secara fisik, sosial, dan kultural.
Dengan latar belakang keadaan seperti ini, kami hendak merefleksikan seksualitas manusia secara lebih utuh dan seimbang, dengan merefleksikan apa yang menjadi rencana awal Allah sendiri saat menciptakan laki-laki dan perempuan. Refleksi ini didasarkan pada pandangan teologi tubuh Yohanes Paulus II yang bisa kita simak dalam audiensinya sejak tahun 1979-1984. Hasil audiensi ini lalu dikumpulkan dalam dokumen yang berjudul “Theology of The Body.”

1. Pengalaman Awali Manusia (The Original Human Experince)
Ketika merefleksikan kisah penciptaan dan kejatuhan manusia pertama dalam dosa, Paus Yohanes Paulus II membaginya dalam empat keadaan/pengalaman awali manusia, yaitu: original solitude, original unity, original nakedness, dan original sin. Paus mengakui adanya realitas dosa, tetapi Paus mengajak kita untuk melihat keadaan awali manusia supaya kita dapat sungguh-sungguh menyadari makna kehidupan dan seksualitas manusia ini sebagaimana dikehendaki oleh Allah sendiri pada mulanya, sebelum kejatuhan manusia dalam dosa.

1.1. Original Solitude
Pengalaman awali ini dikisahkan dalam kisah kedua penciptaan (dalam kisah pertama hal ini tidak ditunjukkan). Kisah kedua ini bercorak antropomorfistis di mana “Tuhan membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya (Kej. 2:7).”
Keadaan kesunyian/kesepian/kesendirian (solitude) ini adalah keadaan kesunyian seorang manusia (man), bukan kesunyian seorang laki-laki (male) karena tidak adanya seorang perempuan (female); “Man is alone… by its nature.”[2] Kesunyian ini menegaskan kembali kodrat kemanusiaan manusia sebagai laki-laki dan perempuan. Allah tidak pertama-tama menciptakan tubuh laki-laki dan baru kemudian perempuan, tetapi Allah menciptakan manusia secara utuh dengan segala kemanusiannya. Allah menciptakan manusia dalam satu tindakan sebagai laki-laki dan perempuan (Kej. 1:27).
Original solitude ini memiliki arti bahwa manusia itu sendiri dengan Allah dan menikmati relasinya yang unik dengan Allah sendiri.[3] Dari semua ciptaan yang ada, hanya manusia yang dapat berelasi dengan Allah. Hanya manusia yang dapat mengenal dan mencintai Allah, dunia, dan dirinya sendiri, karena ia diciptakan secitra dengan Allah. Kejadian bab 1 menampilkan manusia sebagai puncak dan mahkota penciptaan. Keistimewaan ini memiliki karakter teologis yang sekaligus menunjukkan dimensi spiritual manusia, yaitu Allah menciptakan manusia sesuai dengan Citra-Nya. Ini adalah sebuah fakta objektif yang menyatakan keberadaan (being) manusia sebagai laki-laki dan perempuan dan cara berada (existence) manusia agar menjadi berbuah dan bertambah banyak (be fruitfull and multiply).[4] Allah melihat bahwa penciptaan manusia sebagai laki-laki dan perempuan ini sungguh amat baik (1:31). Ini mau mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada (exist) itu baik dalam dirinya sendiri. Karena itu, being dan existence manusia itu sungguh amat baik.
Original solitude juga meneguhkan posisi superioritas manusia atas ciptaan-ciptaan yang lain.[5] Tindakan memberikan nama kepada semua ciptaan yang hidup (Kej. 2:19) mau menunjukkan bahwa manusia memiliki kuasa atas ciptaan-ciptaan yang lain.
Original solitude juga hendak menegaskan kesadaran manusia sebagai pribadi (person). Dalam Kej. 2:7 tertulis, “ketika itulah TUHAN Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup.” Dalam bahasa Ibrani. Kata nafas (breath) serupa dengan kata roh (spirit). Melalui tubuhnya (his “dust”), manusia hidup dalam roh. Melalui pengalaman akan tubuhnya sendiri, manusia memahami siapa dirinya dan siapa Allah; melalui tubuhnya manusia juga memahami perbedaannya dengan binatang dan memahami identitasnya sebagai pribadi.[6]
Tubuh inilah yang menyatakan pribadi manusia. Kesadaran akan tubuh ini pula yang membuat manusia tidak menemukan tubuh-tubuh lain yang serupa dengan tubuhnya. “In naming the animals, Adam found many other “bodies.” But none of these bodies revealed a person, a did his own body. Here we can sense Adam’ deep longing for an-other body that revelas an-other person who is called to communion with him.”[7] Manusia berada dalam kesendirian dan ia merasakana ada sesuatu yang kurang dalam dirinya. Dengan demikian, original solitude mengantar manusia kepada original unity.

1.2. Original Unity
Original unity dimulai saat Allah melihat bahwa tidak baik manusia itu hidup sendirian, maka Ia menciptakan penolong yang sepadan untuknya (Kej. 2:18). Allah melakukan semuanya itu ketika Adam tidur nyenyak untuk menunjukkan misteri tindakan Allah saat mencipta. Dapat pula dikatakan bahwa Adam tidur nyenyak dengan suatu kerinduan yang mendalam untuk menemukan a being seperti dirinya.[8] Kejadian bab 2 lebih menampilkan karakter subjektif manusia dengan pengetahuan dan kesadaran dirinya sendiri.[9] Ada tiga karakter yang hendak ditampilkan. Pertama, pada mulanya Allah menciptakan manusia (adam). Pada saat penciptaan perempuan pertamalah sebenarnya baru mulai muncul kata laki-laki (ish), dalam relasinya dengan perempuan (ishsh). Di sini tampak permainan kosakata Ibrani antara ish dan ishsh. Setelah melihat perempuan, laki-laki itu berkata, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki (2:23).” Karakter kedua adalah bahwa “seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging (2:24).” Dan karakter ketiga adalah “Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu (2:25).”
Sekarang Adam tidak lagi sendiri dengan Allah. Ia memiliki teman yang sama dengannya, untuk bersama sendiri dengan Allah.[10] Kesatuan ini tampak ketika laki-laki berkata, “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki.” Lalu, laki-laki itu memutuskan untuk bersatu dengan perempuan dan menjadi satu daging. Demikianlah manusia dicipta untuk berelasi dan bersatu. Mereka bukan lagi dua melainkan satu karena mereka telah bersatu dan menjadi satu daging (one flesh). Mereka telah berbagi dalam kemanusiaan dan martabat yang sama.
Masculinity and feminity, then are two “incarnations” of the same solitude before God and the world, in other words, of being a body-person made in God’s image. Masculinity and feminity “complete each other.” They are “two complementary dimensions … of self-consciousness and self-determination and, at the same time, two complementary ways of being conscious of the meaning of the body.”[11]

Dengan demikian, manusia menemukan kesempurnaanya dalam “double unity” sebagai laki-laki dan perempuan. Hal ini sesuai dengan apa yang tertulis dalam Kej. 1:27, yaitu bahwa Allah menciptakan manusia menurut gambar Allah, laki-laki dan perempuan. Dua kisah penciptaan ini mengatakan hal yang sama dengan cara yang berbeda. Namun, justru dengan kisah Kejadian bab 2 kita dapat semakin melihat adanya kesatuan awali (original unity) manusia. Dengan ini, tampaklah panggilan manusia untuk membentuk persatuan sebagai communio personarum agar makin serupa dengan kodratnya yang secitra dengan Allah. “Man became the image of God not only through his own humanity, but also through the communion of persons.”[12] Sebagaimana Allah membentuk communio dalam dirinya, demikianlah Allah memanggil agar laki-laki dan perempuan bersatu. Persatuan ini merupakan sebuah proses menerima dan memberi, “accepting and giving.” Adam dengan gembira menerima Hawa dengan seluruh bentuk tubuhnya, sifatnya, dan segala yang dimiliki Hawa. Demikian pula dengan bebas Hawa menerima Adam dengan seluruh bentuk tubuhnya, sifatnya, dan segala yang dimiliki Adam. Mereka berdua bersatu dan saling memberikan diri mereka satu sama lain.
Namun, kesatuan ini harus dipahami dalam arti yang luas, bukan sekedar persatuan seksual antara laki-laki dan perempuan, melainkan persatuan antara dimensi maskulinitas dan feminitas manusia. Dan bahkan, lebih lanjut rasul Paulus merefleksikan ini semua sebagai persatuan antara Kristus dengan Gereja-Nya. “Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” (Ef. 5:31-32). Persatuan yang saling menerima dan member inilah yang mengantar laki-laki dan perempuan kepada original nakedness.

1.3. Original Nakedness
Kitab Kejadian mengisahkan dua kisah mengenai ketelanjangan awali manusia. Yang pertama adalah “Mereka keduanya telanjang, manusia dan isterinya itu, tetapi mereka tidak merasa malu (Kej. 2:25).” Yang kedua adalah “Kemudian terbukalah mata mereka berdua dan mereka tahu, bahwa mereka telanjang; lalu mereka menyemat daun pohon ara dan membuat cawat (Kej. 3:7).” Dua pengalaman ketelanjangan ini memiliki makna yang sangat berbeda.
Dalam kisah pertama kita melihat bagaimana ketelanjangan awali ini tidak membuat mereka malu walaupun sama-sama dalam keadaan telanjang. Perbedaan seksual antara laki-laki (male sex) dan perempuan (female sex) tidaklah membuat mereka malu. Tidak ada masalah dengan tubuh mereka, dengan ketelanjangan mereka. Ketelanjangan ini menjadi simbol kebebasan dalam komunikasi, di mana manusia yang dipanggil untuk bersatu ini mau dengan bebas dan total saling memberi dan menerima.[13] Ketelanjangan ini juga bermakna bahwa yang satu menjadi bagian dari yang lain. Laki-laki juga memiliki dimensi feminitas dan perempuan juga memiliki dimensi maskulinitas. Mereka memang berbeda dan sungguh berbeda, tetapi perbedaan ini justru menjadi saat bagi mereka untuk saling melengkapi satu sama lain. Mereka mampu mencintai satu sama lain secara utuh.
Dalam kisah kedua, ketelanjangan ini menjadi sesuatu yang menakutkan dan mencemaskan, sehingga mereka harus bersembunyi dan menutupi ketelanjangan mereka karena malu. “Aku menjadi takut, karena aku telanjang; sebab itu aku bersembunyi (Kej. 3: 10)” Ketelanjangan ini tidak sekedar mengatakan ketelanjangan fisik di mana mereka tidak berpakaian, tetapi juga ketelanjangan di mana mereka telah kehilangan partisipasinya dalam Rahmat Allah. Manusia menjadi malu karena ia telah terasingkan, bahkan terbuang dari kasih yang menjadi sumber rahmat, yang menjadi tujuan awal Allah menciptakan manusia. Mengapa sampai semua ini terjadi? Original sin lah yang membuat manusia terbuang dari situasi awalinya yang penuh rahmat.

1.4. Original Sin
Ketiga keadaan awali di atas menjadi hancur akibat dari dosa asal, sebagaimana diceritakan dalam Kej. 3:1-14. Di sinilah terletak perbedaan yang dahsyat (the time bomb). Teologi sistematis mengenal dua keadaan kodrati manusia yang berbeda.[14] Keadaan pertama disebut “the state of integral natural”, di mana manusia belum memiliki pengetahuan akan yang baik dan buruk, di mana manusia hidup sesuai dengan keadaan awali yang dikehendaki Allah. Keadaan kedua disebut “the state of fallen nature” di mana manusia jatuh dalam dosa (“the state of human sinfulness”).
Ular datang menggoda manusia. “Sekali-kali kamu tidak akan mati, tetapi Allah mengetahui, bahwa pada waktu kamu memakannya matamu akan terbuka, dan kamu akan menjadi seperti Allah, tahu tentang yang baik dan yang jahat (4-5).” Mengapa ular menggoda manusia tidak dikatakan. Yang pasti adalah akhirnya manusia tergoda dan jatuh dalam dosa karena keputusan manusia melawan perintah Allah. “Semua pohon dalam taman ini boleh kaumakan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kaumakan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati (Kej. 2:16b-17).”
Manusia menjadi terpisah dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan sesama, dan juga dengan alam ciptaan ini. Inilah titik di mana semuanya serentak berbeda secara dahsyat. Semuanya langsung berubah dan berbalik. Kitab Kejadian menceritakan bahwa setelah berbuat dosa asal ini manusia menjadi malu karena mereka telanjang (3:7). Mereka berusaha untuk menutup tubuh mereka yang telanjang dengan cawat dari pohon ara. Namun, usaha ini tidak mampu menghilangkan rasa malu mereka di hadapan Allah. Hal ini menunjukkan betapa hubungan manusia dengan Allah telah rusak. Kerusakan ini tidak bisa dipulihkan lagi oleh manusia hanya dengan membuat cawat. Hanya Allah sendirilah yang dapat menghapus rasa malu dan rasa bersalah manusia[15] dengan membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia (adam) dan isterinya itu (hawa), lalu mengenakannya pada mereka (3:21).
Kesadaran akan ketelanjangan mereka ini sekaligus menunjukkan bahwa kodratnya sebagai citra Allah telah rusak.[16] Keluhuran martabat manusia, sebagai laki-laki dan perempuan, dalam keadaan awalinya menjadi rusak. Perbedaan antara laki-laki dan perempuan lalu lebih mudah jatuh kepada perbedaan seksual antara tubuh laki-laki dan tubuh perempuan. Manusia hanya melihat tubuhnya sebagai sebuah tubuh fisik (antropologis) belaka karena telah kehilangan dimensi Ilahi (teologis) dari tubuh itu. Di sini pulalah kita dapat menemukan makna seksualitas manusia menjadi kabur, sehingga orang mudah jatuh pada seks belaka. Dosa asal ini menyebabkan manusia memiliki kecenderungan akan dosa (konkupisensia), sehingga manusia menjadi semakin sulit untuk menentukan mana yang baik dan buruk bagi dirinya.

2. Empat Kualitas Kehadiran Manusia[17]
Dalam refleksi Paus Yohanes Paulus II, tubuh manusia memiliki empat karakter, yaitu: symbolic, nuptial, free and fallen, and redeemed. Masing-masing pengalaman awali manusia memberikan makna tersendiri untuk tubuh.
“From the experience of Original, we understand that the human body is symbolic. From the experience of Original Unity… that the human body is nuptial. From experience of Original Nakedness … that human body is free and fallen. From experience of knowing and loving Jesus Christ, we come to understand that human body is redeemed.”[18]

2.1.Kehadiran Manusia sebagai Simbol
Karakter symbolic mau mengatakan bahwa tubuh manusia berbeda dengan tubuh ciptaan-ciptaan yang lain. Manusia, dalam tubuhnya, memiliki dimensi spiritual dan invisible sebagai seorang pribadi. Ketika berjumpa dengan seseorang, kita tidak hanya berjumpa dengan tubuh manusia, tetapi juga berjumpa dengan karakter, kepribadian, pemikiran, perasaan, tindakan, bahasanya, dan sebagainya, sebagai seorang pribadi. Maka, manusia tidak bisa dilihat hanya dari tubuhnya saja, dari segi fisiknya saja. Dalam diri manusia inilah terdapat apa yang visible dan invisible, serta apa yang physical dan spiritual. Tubuh manusia berada dalam ruang dan waktu, sementara roh berada dalam kekekalan. Oleh karena itu, manusia mengungkapkan apa yang spiritual dan invisible ini lewat tubuhnya.
Apa yang dilakukan manusiapun memiliki karakter symbolic. Apa yang dikerjakan oleh tubuh ini bukan aktivitas jasmani belaka, melainkan juga memiliki makna rohani. Misalnya, seorang laki-laki bekerja keras bukan hanya demi pekerjaan itu sendiri, melainkan sebagai ungkapan cinta kepada isteri dan anak-anaknya. Seorang perempuan berdandan bukan hanya demi mempercantik dirinya sendiri, melainkan juga untuk menyenangkan pasangannya. Seorang imam melakukan matiraga bukan hanya untuk menahan lapar dan haus, melainkan juga sebagai ungkapan pertobatannya. Dengan demikian, tubuh manusia dan apa yang dilakukan manusia lewat tubuhnya ini sesungguhnya kaya akan makna.

2.2.Kehadiran Manusia yang Relasional
Karakter nuptial mau mengatakan bahwa tubuh manusia memiliki karakter relasional yang terarah pada cinta. Tubuh laki-laki dan perempuan memang berbeda. Perbedaan ini justru menjadi alasan bagi mereka untuk bersatu dalam cinta. Tubuh manusia itu dicipta untuk cinta. Tubuh manusia itu dicipta untuk berelasi satu sama lain. Adanya rasa tertarik antara seorang laki-laki terhadap seorang perempuan atau sebaliknya adalah tanda adanya dorongan untuk bersatu, atau setidaknya adanya dorongan untuk berelasi.
Karena karakter tubuh adalah symbolic, maka ungkapan karakter nuptial ini tidak hanya terarah kepada aktivitas jasmani, tetapi juga rohani. Ungkapan karakter ini bukan hanya lewat aktivitas seksual (a body language) antara laki-laki dan perempuan, melainkan juga lewat tindakan berbicara, mendengarkan, memperhatikan, menyentuh, dan menerima orang lain (a spiritual language). Oleh karena itu, ungkapan persatuan manusia, antara pria dan wanita, tidak hanya lewat persetubuhan atau kenikmatan seksual. Itu hanyalah salah satu cara tubuh manusia mengungkapkan cinta. Dalam aktivitas seksualpun dibutuhkan bahasa cinta. Ungkapan cinta yang tampak dalam tindakan saling menyentuh, saling memandang, saling mendengarkan, saling memahami, dan sebagainya. Tanpa ada ini semua, akivitas seksual manusia hanyalah sekedar untuk memuaskan nafsu seksualnya semata, tanpa memiliki nilai cinta yang menjadi dasarnya.

2.3.Kehadiran Manusia yang Bebas dan Jatuh
Karakter “bebas” dimaksudkan bahwa dengan tubuhnya, manusia bebas untuk memberi dan menerima cinta. Agar dapat mencintai, manusia itu harus dalam keadaan bebas karena kebebasan adalah syarat adanya cinta. Namun, manusia ternyata malah menyalahgunakan kebebasan itu, sehingga jatuh dalam dosa. Dosa asal membuat tubuh pun terkena akibat dosa asal. Tubuh menjadi jatuh (fallen) dalam dosa. Secara jasmani akibat dari dosa ini, tubuh akan mati dan hancur. Secara rohani, dosa membuat manusia memiliki hasrat/dorongan seksual yang tidak teratur. Manusia tidak lagi mampu melihat tubuhnya secara utuh dan seimbang. Keadaan semacam ini dengan tepat dikatakan oleh Rasul Paulus, “Sebab kita tahu, bahwa hukum Taurat adalah rohani, tetapi aku bersifat daging, terjual di bawah kuasa dosa. Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat (Rm. 7:14-15).”[19]
2.4.Kehadiran Manusia yang Ditebus
Dosa asal yang melukai kodrat manusia membuat manusia tidak mampu lagi untuk berpartisipasi dalam kodrat Ilahi. Kodrat ini tidak dapat dipulihkan oleh usaha manusia sendiri. Karakter “ditebus” mau menunjukkan bahwa berkat wafat dan kebangkitan Kristus, tubuh manusia yang sudah tercemar akibat dosa, dipulihkan kembali, bahkan diperbarui jauh lebih baik dari keadaan sebelumnya. Peristiwa inkarnasi Yesus juga menunjukkan suatu relasi yang baru antara Allah dan manusia. Karena Yesus, manusia dapat mengenal Allah, menyentuh-Nya, merasakan-Nya, berelasi dengan-Nya, dan mencintai-Nya. Tubuh manusia ditebus untuk dibangkitkan dalam hidup baru bersama dengan Kristus.
Sebagai orang yang telah ditebus dengan Darah Kristus, Rasul Paulus menegaskan betapa pentingnya bagi jemaat kristen untuk hidup menurut Roh. “Maksudku ialah: hiduplah oleh Roh, maka kamu tidak akan menuruti keinginan daging (Gal. 5:15).” Dengan hidup dalam Roh, orang diajak untuk memiliki pikiran dan kehendak yang benar dalam hidup ini (inner purity). Dosa bukan hanya soal telah melakukan hal yang buruk; bahkan Yesus menegaskan, memikirkan dan menghendakinya saja sudah merupaka dosa (“Kamu telah mendengar: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya”- Mat. 5:27-28).
Karakter “ditebus” ini juga merupakan sebuah undangan bagi manusia untuk bersatu kembali, bersatu dengan Allah, bersatu dengan sesama, bersatu dengan dirinya sendiri, dan bersatu dengan alam ciptaan. Persatuan inilah yang menjadi awal tujuan Allah menciptakan manusia, sebelum manusia jatuh dalam dosa. Rasul Paulus mengajak umat di Galatia untuk mengungkapkan buah-buah penebusan yang mereka terima itu dengan melayani sesama dalam kasih. “Saudara-saudara, memang kamu telah dipanggil untuk merdeka. Tetapi janganlah kamu mempergunakan kemerdekaan itu sebagai kesempatan untuk kehidupan dalam dosa, melainkan layanilah seorang akan yang lain oleh kasih (Gal. 5:13-14).”

3. Seksualitas Manusia sebagai sebuah Anugerah dan Pemberian Diri
Allah memberikan perempuan kepada laki-laki sebagai penolong yang sepadan dengannya. Kata penolong bukan mau menunjukkan kedudukan perempuan yang lebih rendah daripada laki-laki atau bahwa peranan perempuan hanya sebagai pelengkap belaka. Dalam bahasa Ibrani, kata “penolong” digunakan untuk menjelaskan cara Allah memelihara dan menolong umat-Nya.[20] Laki-laki dan perempuan dipanggil untuk menjadi anugerah satu bagi yang lain, di mana mereka belajar untuk saling memberi dan menerima (giving and receiving).
“The man discovers the woman and accepts her for who she is. The man does not try to change her or control her. The man accepts that she complements him – that she helps him to be human………She helps him reach perfection.”[21]

Laki-laki menerima perempuan dengan seluruh pribadi dan feminitasnya; demikian pula perempuan menerima laki-laki dengan seluruh pribadi dan maskulinitasnya. Masing-masing memang berbeda, tetapi justru dalam keberbedaan ini mereka bisa saling melengkapi dan memperkaya. Dengan demikian, baik laki-laki maupun perempuan saling diperkaya dalam sebuah relasi yang saling menguntungkan, saling menumbuhkembangkan untuk mencapai kepenuhan seksualitasnya sebagai manusia, sesuai dengan kodratnya sebagai citra Allah.
Seksualitas manusia adalah sebuah anugerah yang harus dibagikan satu dengan yang lain karena memang demikianlah rencana agung Allah ketika menciptakan laki-laki dan perempuan. “Sexuality is our human capacity as whole person to enter into love-giving, life-giving union in and through the body…. Sexuality is the personal power to share (physically, psychically, and spiritually) the gift of self with self and with others”[22] Dengan demikian, inti dari seksualitas manusia adalah pemberian diri (the power of sharing self). Pemberian diri secara total ini seringkali disamakan dengan aktivitas seksual antara suami dan isteri dalam perkawinan. Hal ini tidaklah tepat. Aktivitas seksual memang harus dilakukan sebagai ungkapan pemberian diri yang total, tetapi aktivitas seksual ini hanyalah salah satu ungkapan pemberian diri yang total ini. Setiap orang, baik mereka yang menikah maupun yang selibat, tetap dipanggil untuk memberikan diri satu sama lain, dengan cara yang berbeda, entah secara fisik, psikologis, sosiologis, spiritual, dan sebagainya- sesuai dengan panggilan hidup mereka masing-masing. Dengan kata lain, kepenuhan seksualitas manusia terletak pada usaha pemberian dirinya ini.

4. Penghayatan Seksualitas bagi Para Calon Imam
4.1.Menghargai tubuh
Dari teologi tubuh ini kita menyadari bahwa tubuh ini bukanlah sumber dosa. Tubuh ini pada awalnya diciptakan baik adanya. Adanya dosa asal inilah yang membuat manusia tidak mampu untuk memiliki pandangan yang utuh dan menyeluruh tentang tubuhnya sendiri. Ia memiliki kecenderungan untuk berbuat dosa. Bila kita hendak mencari penyebab semua ini, harus diakui bahwa agama kristen juga ikut terlibat membuat manusia jatuh pada cara pandang yang negatif tentang seks. Rainer Maria Rilke melontarkan kritik pedas bahwa agama, terutama agama kristenlah yang membuat seks menjadi homeless di Eropa.[23] Semua keinginan dan kenikmatan seksual dituduh sebagai sesuatu yang hina dan merendahkan martabat manusia. seks ditampilkan sebagai yang harus disesalkan dan dosa-dosa seksual dipandang sebagai dosa yang paling berat.[24] Kesadaran seperti ini mendorong kita untuk menerima tubuh kita secara lebih positif.

4.2.Menghargai dan Menerima Seksualitas
Seksualitas adalah anugerah yang diberikan oleh Sang Pencipta kepada manusia; dan semuanya itu sungguh amat baik adanya. Kesadaran bahwa seksualitas adalah anugerah dari Allah sendiri sangat penting agar kita tidak jatuh pada pandangan yang tidak utuh tentang seksualitas. Menghargai seksualitas berarti kesediaan untuk mengakui dan menerima bahwa diri kita berbeda dengan orang lain, bahwa setiap orang memiliki keunikan masing-masing, bahwa laki-laki berbeda dengan perempuan. Menerima perbedaan mengandaikan bahwa kita juga mau mengenal dan menerima diri kita sendiri. Ini semua membuat kita merasa ”nyaman” dan ”intim” dengan diri kita sendiri. Kita tidak merasa takut, kecewa, atau merasa bersalah dengan diri kita. Kemampaun untuk bisa ”sendiri” dengan diri ini menjadi sesuatu yang sangat diperlukan bagi para calon imam yang memang harus menjalani hidup ini secara sendiri, dalam arti tertentu. Sebagaimana manusia pertama hidup sendiri dengan Allah, para calon imampun diminta untuk belajar membangun ”kesendiriannya” dengan Allah.

4.3.Menjadi Insan Persekutuan
Menghayati seksualitas dengan baik berarti kesediaan untuk mengakui bahwa aku membutuhkan orang lain untuk meraih kesempurnaan. Kita mau mengundang orang lain untuk masuk lebih dalam ke dalam diri kita. Kita mau membangun persekutuan dengan orang lain. Sesungguhnya, ”seksualitas menunjukkan panggilan manusia untuk menjadi sempurna.”[25] Baik kehadiran laki-laki maupun perempuan hendak menunjukkan bahwa manusia pada dasarnya tidaklah lengkap. Ia membutuhkan orang lain untuk meraih kesempurnaan dalam dirinya.
Hal ini semakin mempertegas panggilan para imam untuk menjadi man of communion, baik dengan Tuhan dan dengan sesama. Kita mau membangun relasi yang ”intim” dengan orang lain. Relasi yang intim tidaklah melulu melibatkan aktivitas seksual. Keintiman dibangun ketika kita mau saling menjadi anugerah satu bagi yang lain. Usaha untuk saling memberi diri inilah yang membuat orang menjadi intim. Hal itu dapat diungkapkan dengan sentuhan, sapaan, senyuman, dan sebagainya yang menunjukkan bahwa kita mau menerima, mengerti, memahami, mendengarkan orang lain. Karena tubuh kita ini memiliki karakter symbolic, maka apa yang kita lakukan dengan tubuh kita hendaknya mengungkapkan juga dimensi rohani tubuh kita.
Adanya rasa tertarik dengan perempuan merupakan suatu dorongan yang alami muncul dalam diri laki-laki. Ini merupakan suatu kebutuhan atau dorongan yang tak terelakkans ecara manusiawi. Mereka yang menjalani hidup selibat tentu menghadapi aneka dorongan ini secara berbeda dengan orang yang menikah. Ini bukan soal isinya, melainkan hanya soal caranya. Orang yang menikah mengungkapkan itu semua dalam relasi persetubuhan antara suami dan isteri. Tetapi, persetubuhan ini bukanlah sesuatu yang mutlak harus ada. Persetubuhan adalah salah satu ungkapan cinta dan pemberian diri. Maka, orang yang selibat pun dapat mengungkapkan cinta dan pemberian diri dengan cara yang berbeda. Orang yang selibatpun tetap dapat mewujudkan diri menjadi insan persekutuan walaupun tanpa pernikahan, tanpa aktivitas seksual.
Persekutuan yang dimaksudkan di sini bukan hanya persekutuan antara laki-laki dan perempuan. Imamat juga merupakan suatu bentuk penghayatan persekutuan antara Kristus dan Gereja-Nya. Rahasia ini besar, tetapi yang aku maksudkan ialah hubungan Kristus dan jemaat.” (Ef. 5:31-32). Hidup selibat maupun mengungkapkan dimensi rohani pernikahan yang disebut pernikahan mistik antara Kristus dan Gereja-Nya. Dengan bersatu erat dalam kristus, seorang imam menghayati pernikahan mistiknya dalam kehidupan seharai-hari dan ia menjadi tanda kehadiran Kristus di dunia ini (alter Christus).

4.4.Membagikan Anugerah Kehidupan
Gereja mengakui salah satu tujuan perkawinan adalah prokreasi yang melahirkan kehidupan baru. Untuk mewujudkan ini, pasangan suami-isteri melakukan persetubuhan. Para calon imam pun juga dipanggil untuk ikut melahirkan kehidupan yang baru, secara rohani. Para calon imam, dipanggil untuk membagikan anugerah kehidupan ini kepada semua orang; Kehidupan baru yang telah ditebus dan diselamatkan oleh sengsara, wafat, dan kebangkitan kristus. Dengan menjadi pelayan sakramen-sakramen, para imam, sebenarnya juga menjadi pembagi anugerah kehidupan yang telah ditebus dan diselamatkan ini. Inilah kehidupan baru yang diberikan oleh para imam. Dengan cara ini pula para imam mewujudkan hakekat seksualitasnya, yaitu menjadi anugerah dan pemberian diri.
Dalam membagikan anugerah kehidupan inilah seorang imam menghayati Sabda Tuhan Yesus, “… dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Surga (Mat. 19:12a).” Maka, seorang imam menghayati seksualitasnya sebagai pewartaan akan Kerajaan Surga, “Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di surga (Mat. 22:31).” Hidup selibat menjadi kesaksian akan nilai-nilai surgawi, kesaksian akan kehidupan di masa mendatang. Hidup selibat juga menjadi kesaksian akan dimensi rohani seksualitas. Ketika banyak manusia begitu mengagung-agungkan seks, sehingga seksualitas menjadi kehilangan maknanya, hidup selibat hendak memberi kesaksian akan makna sejati dari seksualitas.

4.5.Menghargai Martabat Perempuan
Penghayatan seksualitas yang baik juga mendorong kita untuk menghargai tubuh perempuan dan aneka potensi yang dimiliki oleh kaum perempuan. Dunia saat ini telah begitu maju dan peranan perempuan dalam kehidupan ini tak terelakkan lagi. Kita tidak bisa menutup mata untuk tidak mau bekerja sama dengan kaum perempuan. Bahkan. Harus diakui, lebih banyak kaum perempuan yang aktif dalam kegiatan menggereja. Penghargaan terhadap martabat perempuan memampukan kita untuk melibatkan mereka dan bekerja sama dengan mereka. Penghargaan terhadap perempuan juga membantu kita untuk bisa berelasi dengan baik dan “aman.” Kata “aman” di sini dimaksudkan agar para imam tidak jatuh pada relasi yang ekslusif pada perempuan yang bisa mengganggu pelaksanaan penghayatan kaul kemurnian dan kehidupan selibat yang dihayatinya.
5. Penutup
Dalam Teologi tubuh ini, Yohanes Paulus II mengajak kita untuk melihat kembali ke “Awal” yaitu melihat kembali apa yang tertulis dalam Kitab Kejadian. Dalam Kitab inilah kita dapat menemukan refleksi awal pemahaman manusia akan siapa dirinya. Dengan ini, tampaklah bahwa sejak awal (original plan) Allah menghendaki persatuan antara laki-laki dan perempuan. Persatuan ini bukan hanya perkara pernikahan, melainkan juga perkara hidup selibat. Kepada beberapa orang, Allah menghendaki mereka untuk menjalani hidup selibat demi Kerajaan-Nya. Oleh karena itu, kisah penciptaan ini memiliki makna yang lebih daripada penciptaan laki-laki dan perempuan.[26] Paus Yohanes Paulus II mengajak kita memahami lebih mendalam siapakah laki-laki dan perempuan itu, bagaimana menghayati relasi antara laki-laki dna perermpuan, apakah makna seksualitas manusia, dan bagaimana kita menghayati seksualitas manusia itu sesuai dengan Rencana Awali Allah sendiri. Semuanya itu mengajak kita menyadari bahwa cinta kasihlah dasar dari segala-galanya. Cinta kasih menjadi hakekat seksualitas.[27] Tubuh ini dicipta untuk dicinta. Lewat seksualitas inilah kita menjadi anugerah bagi sesama kita. Lewat seksualitas inilah kita belajar untuk memberi dan menerima (giving and receiving). Hanya dalam cintalah segalanya menjadi kaya akan makna. “Air yang banyak tak dapat memadamkan cinta, sungai-sungai tak dapat menghanyutkannya (Kid. 8:7a).”

Daftar Pustaka
Bergant, Dianne dan Robert J. Karries (eds.), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Yogtakarta:Kanisius, 2002
Handoko, Petrus Maria, CM (penyadur), Dicipta untuk Dicinta: Antropologi Teologis Fundamental (Teologi Penciptaan), Diktat Kuliah STFT Widya Sasana, 1996.
Hershberger, Anne K. (penyunting), Seksualitas Pemberian Allah, Jakarta: Gunung Mulia, 2008
Langemeyer, Georg, “Sexuality”, dalam Wolfgang Beinert dan Francis Schussler Fiorenza (eds.), Handbook of Catholic Theology, New York: The Crossroad Publishing Company, 2000.
Pable, Martin, “Skill Needed for Celibacy”, dalam Review for Religious, May-June 1998.
Paul, John II, Man and Women He Created Them: A Theology of the Body, Boston: Pauline Books & Media, 2006
Paul, John II, The Theology of The Body: Human Love in the Divine Plan, Boston: Pauline Books & Media, 1997
Percy, Anthony, The Theology of The Body Made Simple: Disccover John Paul II’s radical teaching on sex, love, and the meaning of life, Philippines: Pauline, 2006
Peszchke, Karl-Heinz, SVD., Etika Kristiani jild III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, Maumere: Ledalero, 2003
Prokes, Mary Timothy, FSE, Toward a Theology of the Body, Edinburgh: T&T Clark, 1996
Sindhunata, “Seks Undercover: IKon Bokong Inul”, dalam Basis Nomor 03-04, Tahun ke-52, Maret-April 2003
Von Hildebrand, D., “Sex”, dalam New Catholic Encyclopedia, Vol XIII Scu-Tex, Washington D.C., The Catholic University of America, 1967.
West, Christopher, Theology of The Body Explained: A Commentary on John Paul II’s “Gospel of the Body”, Boston: Pauline Books & Media, 2003
[1] Sindhunata, “Seks Undercover: IKon Bokong Inul”, dalam Basis Nomor 03-04, Tahun ke-52, Maret-April 2003, hlm. 28.
[2] John Paul II, The Theology of The Body: Human Love in the Divine Plan, Boston: Pauline Books & Media, 1997, , hlm. 36
[3] Anthony Percy, The Theology of The Body Made Simple: Disccover John Paul II’s radical teaching on sex, love, and the meaning of life, Philippines: Pauline, 2006, hlm. 20.
[4] Christopher West, Theology of The Body Explained: A Commentary on John Paul II’s “Gospel of the Body”, Boston: Pauline Books & Media, 2003, hlm. 63
[5] John Paul II, Op. Cit., hlm. 36.
[6] Christopher West, Op. Cit., hlm. 73.
[7] Ibid
[8] Christopher West, Op. Cit.,hlm. 75.
[9] John Paul II, Op. Cit., hlm. 30-31.
[10] Anthony Percy, Op. Cit., hlm. 22.
[11] Christopher West, Op. Cit., hlm. 75.
[12] John Paul II, Man and Women He Created Them: A Theology of the Body, Boston: Pauline Books & Media, 2006, hlm. 163.
[13] Anthony Percy, Op. Cit., hlm. 29.
[14] John Paul II, The Theology of The Body…, Op.Cit., hlm. 30-31.
[15] Dianne Bergant dan Robert J. Karries (eds.), Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, Yogtakarta:Kanisius, 2002, hlm. 40.
[16] John Paul II, Man and Women…, Op. Cit., hlm. 113
[17] Lih., Anthony Percy, Op. Cit., hlm. 39-54.
[18] Ibid., hlm. 41.
[19] Selama berabad-abad Gereja ikut berperan membentuk pemikiran banyak orang bahwa tubuh ini adalah sumber dosa, padahal tubuh manusia bukanlah sumber dosa. Santo Agustinus berpendapat bahwa dosa asal ini diteruskan melalui hubungan seksual. Dosa asal diturunkan melalui kenikmatan seksual waktu bersanggama. Karena tiada jalan lain untuk mengadakan anak, maka kenikmatan yang dianggap sebenarnya tidak baik itu dihalalkan. Menurut Agustinus, hawa nafsu seksual adalah nafsu terbesar dalam diri manusia yang melumpuhkan dan menggelapkan akal budi. Hubungan seks hanya boleh diadakan demi kelanjutan keturunan, bukan untuk mencapai kenikmatan seksualitas. Agustinus menasihatkan supaya melakukan hubungan seks seminimal mungkin supaya tidak berdosa berat. Setiap persetubuhan menurut Agustinus tidak pernah terlepas dan dosa, sekurang-kurangnya dosa ringan. Dengan tindakan itu, dosa asal diteruskan kepada anaknya bagaikan suatu penyakit kelamin (Bdk. Georg Langemeyer, Sexuality, dalam Wolfgang Beinert dan Francis Schussler Fiorenza (eds.), Handbook of Catholic Theology, New York: The Crossroad Publishing Company, 2000, hlm. 657-658).
Tertulianus berpendapat bahwa hidup keperawanan jauh lebih luhur daripada hidup berkeluarga. Hal ini disebabkan karena kawin berarti menyerahkan diri pada hawa nafsu daging. Ambrosius berpendapat bahwa tujuan ideal dan hidup perkawinan adalah bila suami-­isteri berhenti berhubungan seksual. Apalagi bagi isteri yang sudah lanjut usianya, persetubuhan itu adalah salah satu perbuatan yang sangat memalukan, karena tidak terpengaruh lagi untuk mendapat keturunan. Hieronimus berpendapat bahwa wanita yang kawin dapat mencapai kekudusannya kalau ia berhenti sama sekali berhubungan seksual. Ia hanya menghargai perkawinan sejauh melahirkan orang-orang untuk hidup menghayati cita-cita keperawanan. Seperti hewan, manusia setelah hamil, jangan bersetubuh lagi (Bdk. D. Von Hildebrand, Sex, dalam New Catholic Encyclopedia, Vol XIII Scu-Tex, Washington D.C., The Catholic University of America, 1967, hlm. 147-150).

[20] Lih., Anne K. Hershberger (penyunting), Seksualitas Pemberian Allah, Jakarta: Gunung Mulia, 2008, hlm. 36.
[21] Anthony Percy, Op. Cit., hlm. 25.
[22] Mary Timothy Prokes, FSE, Toward a Theology of the Body, Edinburgh: T&T Clark, 1996, hlm. 95.
[23] Sindhunata, Loc.Cit.,
[24] Karl-Heinz Peszchke SVD, Etika Kristiani jild III: Kewajiban Moral dalam Hidup Pribadi, Maumere: Ledalero, 2003, hlm. 235.
[25] Petrus Maria Handoko, Dicipta untuk Dicinta: Antropologi Teologis Fundamental (pro manuscipto), Malang: STFT Widya Sasana, 1996, hlm. 38.
[26] Anthony Percy, Op. Cit., hlm. 13.
[27] Petrus Maria Handoko, Op. Cit., hlm. 38

1 komentar:

Mangasi Albert Simbolon mengatakan...

salam
btw.. artikel ini dah ada di blog yg lain... pa penulisnya sama?? klo gak salah blognya: diamsejenak. blog seorang frater (diakon)CM... jadi,, siapa penulis sebenrnya???