04 Januari 2010

Lourdes, Perjalanan Menziarahkan Diri

Maria Hartiningsih

Kisah dalam film "Lourdes" menggambarkan pergulatan batin manusia yang penuh paradoks. Film ketiga sutradara Jessica Hausner ini memotret ketakutan akan kesepian, penderitaan, kemarahan dalam persenyawaan dengan harapan, keyakinan, dan cinta sehingga tak jatuh menjadi cerita religiusitas yang dangkal.

Karakter utama dalam "Lourdes" adalah Christine (Sylvie Testud), perempuan muda berkursi roda, dalam rombongan peziarah ke Lourdes di Pegunungan Pyrenees, Perancis selatan.

Goa Lourdes menjadi tempat berziarah umat Kristiani di dunia setelah Bunda Maria menampakkan diri kepada Bernadette, gadis miskin berusia 14 tahun, tahun 1859. Banyak orang meyakini terjadi mukjizat penyembuhan di situ meski pihak Gereja Katolik sangat hati-hati mengeluarkan sertifikat kesembuhan. Semua tergambar dalam film ini dengan cara yang pas.

Berbeda dengan para peziarah—sebagian cacat fisik dan mental—yang mengharapkan mukjizat penyembuhan, Christine yang menderita kelumpuhan merambat (multiple sclerosis) berada di Lourdes lebih untuk melarikan diri dari keterasingan dalam kehidupan rutinnya. Jadi tak ada urusan dengan soal iman. Ia sebenarnya lebih memilih Roma sebagai tempat ziarah karena di sana lebih banyak tempat budaya.

Meski menganggap perjalanan itu sebagai tamasya, Christine mengikuti seluruh upacara ritual yang lazim dilakukan para peziarah. Maka, ketika ternyata ”mukjizat” itu menyentuh Christine, para peziarah yang merasa lebih beriman merasa terganggu. Apalagi, setelah itu tak tampak terjadi transformasi spiritual dalam diri Christine.

Ia menunjukkan rasa sukacitanya dengan mengekspresikan keinginan yang tampaknya ia kubur dalam-dalam, yakni hidup seperti orang ”normal”: punya hubungan romantis dengan laki-laki. Pilihan jatuh kepada Kuno (Bruno Todeschini), pemuda ganteng, pengawas yang membantu para peziarah.

Dalam pesta di ujung peziarahan, Christine yang sedang berdansa dengan Kuno salah langkah dan jatuh, tetapi menolak dibantu berdiri. Dia bangun sendiri, lalu bersandar di dinding, sambil terus memandang ke arah mereka yang sedang berdansa.

Saat itu, proses kelumpuhan mulai terasa dari jari-jarinya. Perempuan tua, teman sekamarnya, menarik kursi roda dan berdiri di sampingnya. Dengan tertatih, akhirnya Christine kembali duduk di kursi roda.

Permenungan

Akhir kisah dari film berdurasi 99 menit itu adalah antiklimaks suasana yang sejak awal dibangun, yang membuat penonton mengharap akhir ”membahagiakan”. Hausner menjaga ritme ketidakpastian itu sehingga membuat penonton terus bertanya.

Lourdes tampaknya tak dimaksudkan untuk meyakin-yakinkan tentang mukjizat; sebaliknya membuat orang kritis, bahkan meragukan keyakinan itu, meskipun pilihan perspektif tersebut mengganggu banyak orang yang berpikir sebaliknya.

Kendati demikian, film itu menggambarkan secara indah dan subtil tentang misteri ilahi; sekaligus persoalan kemanusiaan tentang penerimaan diri; suatu pergulatan eksistensial di luar hiruk-pikuk pemahaman standar tentang ”kesempurnaan”, ”kenormalan”, dan ”kebahagiaan”.

Banyak dialog mengantar kita menziarahi diri untuk melihat bahwa kelumpuhan adalah metafora ketidakberdayaan untuk mampu merasa bahagia. Simak dialog antara Christine dan pastor pembimbing di ruang pengakuan dosa.

”Mengapa harus saya yang cacat dan yang lain tidak? Saya sering merasa tidak bahagia dan tidak berguna, Romo. Saya ingin kehidupan yang normal.”

”Apa arti ’normal’? Setiap kehidupan itu unik. Banyak orang yang secara fisik sempurna, tetapi tidak pernah merasa bahagia.”

Dialog ini juga bisa diletakkan pada konteks narasi awal; tentang dosa, tentang penyembuhan jiwa yang harus didahulukan dari penyembuhan raga. Lourdes menolak dualisme itu dan seperti hendak mengatakan bahwa keduanya bukan hal yang berpunggungan sehingga mana yang didahulukan senantiasa akan menjadi pertanyaan.

Hausner yang terkesan piawai memotret keterasingan manusia itu—juga dalam film Lovely Rita (2001) dan Hotel (2004)—mengamati, karakter manusia tak ada kaitannya dengan moral agama. Dalam konversasi bernada humor pahit, kita menengarai kesetiaan, kerinduan, sinisisme, dan kondisi jiwa yang melankolik.

Cecile, kepala perawat yang sangat beriman itu, adalah pasien kanker yang skeptis terhadap mukjizat; lalu relawan yang sulit menguasai ego, peziarah yang pencemburu, kemarahan Christine pada nasib, dan malaikat dalam wujud teman sekamar.

Lourdes yang meraih penghargaan sebagai film terbaik pada berbagai festival internasional ini mungkin terkesan muram dan lambat. Juga terasa ada pemahaman yang kurang pas dalam penerjemahan berlapis, Perancis-Inggris-Indonesia.

Namun—selain Sylvie Testud yang bermain elok—setiap bagian Lourdes direkam dengan cara yang sangat artistik. Banyak sekuen mampu menyentuh senyap terdalam pada diri manusia.

Lourdes juga menyisakan pertanyaan yang mengusik kemanusiaan kita tentang ”mukjizat”: bagaimana kalau Tuhan mengembalikan kelumpuhan itu?

http://www.kompas.com/

Tidak ada komentar: